CJ 7


Film terakhir Stephen Chow ini agak sedikit berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya. dalam film ini lebih tepat disebut sebagai film keluarga. stephen chow yang bertindah sebagai Ayah dari seorang anak bernama Dicky. Walaupun mereka dari keluarga miskin, tapi keinginan Mr. Chow untuk menyekolahkan anaknya begitu tinggi. Ia berharap bahwa pada akhirnya anaknya akan merubah nasib keluarga mereka. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah sempit berukuran sekitar 3 x 1.5 meter. Di sanalah makan, tidur dan aktifitas lainnya. 

Ada sebuah filosofi dasar yang Mr Chow ajarkan kepada anaknya Dicky. Walaupun mereka adalah orang yang tak punya namun, jangan sampai mereka menjadi sampah masyarakat, tidak berbohong, tidak berkelahi, kita harus terus belajar keras hingga akhirnya menjadi orang yang berguna pada masa yang akan datang.

Kehidupan Dicky akhirnya sedikit mengalami perubahan setelah seekor mahluk luar angkasa datang ke rumah mereka. Dan mahluk ini memiliki kekuatan magic, dalam mimpinya, Dicky mampu mendapatkan nilai 100 dengan bantuan mahluk ini. Sehingga ini menjadi obsesi Dicky untuk dapat nilai 100 tanpa usaha keras. Karena selama ini nilainya jarang mendapatkan angka yang memuaskan. 

Sampai di sekolah, Dicky begitu berharap bahwa mahluk luar angkasa (dinamai CJ 7) dapat membantunya. namun apa yang terjadi...? CJ 7 tidak dapat melakukan apa-apa. sampai waktu ujian habis ia tidak mengerjakan satupun soal yang diberikan. hasilnya sudah di tebak bahwa ia mendapat nilai "0".

Dicky mengelabui ayahnya bahwa ia mendapat nilai 100 dengan menamahkan angka 10 di depan 0. ayahnya tidak tau dan begitu bangga padanya. di tempat kerjanya, Mr. Chow menceritakan kejeniusan anaknya kepada teman-temannya. hanya bos-nya yang tidak percaya. bosnya berkata bahwa anaknya telah melakukan kecurangan. tapi Mr Chow tidak terima. setelah bosa-nya memberi tahu kebohongan anaknya, mr chow marah karena dicky telah mengkhianati ajarannya selama ini. 

Sesampai di rumah mr chow marah dengan mengambil Cj 7. dicky yang tidak terima perlakukan ayahnya berkata bahwa ia tidak akan kembali ke rumah jika ia tidak mendapatkan nilai di atas 60. mr chow berkata "terserah, kau gunakan otakmu itu, dan kau akan dapatkan nilai 60." dicky pergi dengan hati marah dan tertantang untuk membuktikan ucapannya dan membuktikan bahwa ayahnya salah. 

Di kelas dicky serius mengerjakan ujian dan selesai lebih cepat. di saat yang sama mr chow di tempat kerja mengalami kecelakaan serius yang mengakibatkan ia jatuh dari lantai 7. mr chow mati. 

selanjutnya... CJ 7 mengerahkan semua kemampuannya untuk membantu menghidupkan kembali mr chow. mr chow berhasil hidup kembali dan Cj 7 harus kehilangan nyawanya. 

Pelajarannya adalah: 

Kita mesti percaya diri dengan kemampuan kita. kita pasti bisa jika kita mau. 

Ronggeng Dukuh Paruk


Ketika membaca buku ini satu hal yang muncul dalam imajinasi saya adalah betapa nikmatnya hidup di sebuah desa seperti yang digambarkan ahmad tohari dalam buku ini. Sangat detail sekali, bahkan kehidupan jangkrik dan binatang kecil lainnya tidak luput dari pengamatan Ahmad Tohari. Bagi yang pernah hidup di desa atau mungkin di hutan, saat membaca buku ini kita seperti menyusuri jalan-jalan yang pernah kita lalui dulu. 

Aku yang menghabiskan masa kecilku di sebuah desa yang jauh dari keramaian mesin-mesin kendaraan begitu menikmati sajian Ahmad Tohari kali ini. 

Di samping kisah tentang Srintil yang menjadi seorang ronggeng dan menjalani kehidupan yang dia pikir awalnya nikmat dan terhormat, namun lambat laun ia merasakan bahwa hidupnya tidak berarti... Karena berkali-kali ia kehilangan tempat bersandar yang kokoh. Laki-laki. semua laki-laki yang dikenalnya adalah sama. Sampai akhirnya ia mendapati dirinya menjadi seorang yang harus dikurung dalam kamar isolasi atau istilah kampung mesti di pasung.

Selain itu, bagi dukuh paruk, kehadiran seorang ronggeng adalah sebuah lentera di tengah gelapnya malam. ronggeng adalah nyawa yang menggerakkan dukuh paruk. Tanpa ronggeng dukuh paruk tidak ada apa-apa. Sampai akhirnya lahirlah srintil yang yatim piatu saat masih kecil. kedua orang tuanya mati keracunan tempe bongkrek hasil buatan mereka sendiri. Sejak kedua orang tuanya meninggal, srintil tinggal bersama kakek dan neneknya yang seorang kepala dukuh. Ketika didapati bahwa srintil memiliki bakat atau telah dirasuki oleh roh ronggeng sebelumnya, srintil diserahkan kepada dukun ronggeng di kampung itu untuk di latih menjadi ronggeng. 

buku ini begitu indah dan mengalir, dinamai trilogi dukuh paruk, karena terdiri dari 3 buku yang terpisah kemudian disatukan menjadi trilogi. 

The Journey : Perjalanan Asia


Buku asyik, wajib baca yang hobinya jalan-jalan, kisah petualangan yang unik dan menantang...

Buku tentang laporan jurnalistik perjalanan seorang golagong menyusuri daerah-daerah di Malaysia, Thailand, Laos, Myanmar, Bangladesh, India, Pakistan hingga Himalaya...

catatan yang sudah lama sebenarnya hanya diproduksi ulang untuk mengenang perjalanan edan golagong.  Dikatakan edan, karena memang perjalanan ini memang penuh resiko.  Untuk biaya perjalanan ini, gola gong mengharapkan kiriman dari Bens Leo , pimpinan redaksi tempat ia bernaung waktu itu. Honor tulisan yang ia kirimkan selama perjalanan ini  dikirim bens leo ke kedutaan besar Indonesia di negara yang sedang disinggahi Gola Gong. 

Dengan membaca buku ini, paling tidak kita akan mendapatkan sebuah gambaran tentang daerah-daerah yang dilalui Golagong. Kita akan mendapatkan gambaran tentang budaya masyarakat daerah hingga tempat penginapan yang murah bagi petualang yang modalnya gak besar. Selain itu juga Golagong menceritakan tentang daerah-daerah wisata yang ada di negara-negara yang dilaluinya tadi. 

buku ini adalah kumpulan tulisan yang dimuat berkala di majalah remaja anita cemerlang.

bagi pemilik jiwa petualang harus baca buku ini
yang gak punya juga boleh baca buku ini 
ada banyak pelajaran menarik di dalamnya 

cobain deh...

Labirin Lazuardi ; Reinkarnasi Balada Si Roy


Bagi yang pernah membaca serial pertama milik Golagong, Balada Si Roy. Kita akan kembali di ajak oleh golagong untuk bernostalgia dengan catatan-catatan di perjalanan si Roy.

Tokoh sentral dalam novel ini, Lazuardi adalah seorang anak kota, anak seorang pejabat yang telah menghabiskan hampir seluruh hidpnya untuk keburukan sampai akhirnya ia mengalami sebuah kecelakaan yang diakibatkan teman-temannya sendiri, ia di buang ke jurang bersama dengan mobil yang ia bawa.

Beruntung bagi lazuardi Allah belum mengehendaki nyawanya di cabut. Melalui perantara "kakek berjanggut putih" lazuardi menemukan arti sebuah hidup, bahwa hidup bukan untuk disia-siakan... Oleh karena itulah ia akhirnya berkelana berusaha menangkap isyarat-isyarat langit yang diturunkan Allah ke bumi melalui ciptaannya. selain itu ia juga berusaha untuk memperbaiki masa lalunya yang kelam dengan membantu siapa saja yang memerlukan bantuannya selama ia berkelana itu.

Ada banyak rintangan yang dijumpainya, namun itu tidak menyurutkan langkahnya untuk terus memunguti ayat-ayat Allah di pinggir jalan yang ia lalui. 

Ditulis dengan gaya khas golagong buku ini semakin menarik. Memberikan gambaran realitas kehidupan saat ini tanpa ada maksud menggurui. kisah yang di angkat dari pengalaman Golagong dalam mengarungi kehidupannya... Dalam buku ini golagong menggambarkan bahwa hidup ini ibarat sebuah labirin yang memiliki banyak jalan, namun ada satu jalan yang paling benar dan itu akan mengantarkan kita ke tujuan akhir. .. pokoknya mesti baca...

Ketika Cinta Bertasbih Bagian 2


Saat membaca Ketika Cinta bertasbih II, ada sebuah memori yang kembali keluar dari kepala saya. Kisah perjalanan saya di kota yang digambarkan oleh kang abik dalam KCB II. Setting yang dipakai kali ini adalah Kota Solo. Kota yang masih lekat dalam ingatan saya karena baru sekitar 1 bulan yang lalu saya kunjungi. Satu hal yang membuat buku ini lebih berkesan adalah, saat saya mengunjungi dan mengitari Kota Solo, semua itu saya lakukan dengan menggunakan sepeda. Kurang lebih 6 jam sejak pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore yang nikmati kota asri, sederhana, namun berwibawa.

Berangkat dari Kota Sukoharjo sekitar 15 km dari Solo dengan menggunakan sepeda. Mengayuh dengan santai karena tidak ada yang saya kejar. “Pak jalan ke Solo mana ya..?” saya bertanya kepada seorang bapak yang sedang mengayuh sepedanya. “O, terus aja, lurus terus.” Jawab beliau. “Duluan ya.. pak? Makasih.” Jawab saya sembari mempercepat laju sepeda saya. Dalam buku ini, kang abik menceritakan tentang sawah yang menghijau bergoyang sepertinya mereka sedang sembahyang kepada Tuhannya. Aroma padi begitu terasa, tampak beberapa petani yang sedang menyiangi sawahnya. Aku berhenti sejenak menikmati keindahan yang tak pernah ku dapati di Medan. Hamparan sawah ini berada sekitar 1 km keluar dari kota sukoharjo. Dalam buku KCB II, daerah ini adalah lokasi ayah Azzam ditabrak dan akhirnya meninggal dunia.


Sekitar pukul 11 siang saya memasuki Kota Solo. Selain berkeliling Kota Solo, saya juga hendak ke Gramedia yang sudah lama tidak saya kunjungi, apa buku baru yang tidak sempat saya ikuti perkembangannya selama 2 minggu belakangan ini. Di jalan Veteran ini saya dapati plang penunjuk arah, Pasar Klewer, Mangkunegaran, Kraton Kasunanan dan sebagainya. Azan berkumandang, saya arahkan sepeda saya ke gang sempit, sebuah daerah benama “Kratonan”. Saya sholat disebuah mesjid, saya bersyukur.


Saya masih mencari Gramedia, menurut plang arah tadi, alamatnya di jalan Slamet Riyadi, jalan utama Kota Solo. Kembali saat saya membaca KCB II, saya seperti sedang menyusurinya, sama seperti saat saya menyusurinya dengan sepeda waktu itu. Dengan bertanya ke seorang supir angkot, saya dapati jln. Slamet Riyadi. “Mas, jalan slamet riyadi arah mana ya?” saya bertanya. “itu, mau kemana? Gramedia?” jawab supir tadi sambil bertanya ulang kepada saya. Saya mengangguk. “Lewat jalan ini saja.” sambil menunjuk jalan yang sejajar dengan Jalan Slamet Riyadi. “Nanti sampai di restoran belok kiri, itu pas di depan Gramedia.” Jawab supir angkot. “Makasih mas.” Jawab saya sambil memutar arah sepeda saya. Saya terkesan.

Saya susuri jalan yang ditunjuk supir angkot tadi, saya kitari pandangan saya, saya benar-benar ingin menikmatinya, mumpung masih di sini. Ada mess tim persis Solo di sebelah kiri, kemudian ada jejeran toko yang menjual buku-buku bekas. Dalam buku KCB II, daerah ini namanya Sriwedari. Azzam beserta ibu dan adik-adiknya mengenang ayah mereka dengan makan di salah satu warung makan timlo bu yem yang berada di Sriwedari ini. Saat saya melewatinya saya teringat kawasan lapangan merdeka Medan yang juga menjual buku-buku loak. Keluar dari daerah Sriwedari saya mendapati toko buku Gramedia. Arsitektur bangunan Gramedia, sepertinya bangunan lama yang dipugar. Lagi-lagi saya merasakan ada hawa sejuk yang mengaliri ubun-ubun saya. Maklum banyak hal baru yang saya temui. Di gramedia ini saya temui buku kitab klasik Al Hikam yang banyak disinggung dalam KCB I maupun KCB II. Kebetulan sekarang lagi bulan diskon di gramedia, saya ambil satu dan satu lagi saya pilih buku On Writting-nya Stephen King. Saya melanjutkan kembali perjalanan.

Kali ini saya susuri Jalan Slamet Riyadi. Lagi-lagi saya menikmati hal baru. Di jalan ini ada jalur khusus becak dan sepeda. Jalur khusus ini sangat rindang, karena pohon-pohon rindang ditanami disisi jalan. Saya juga mendapati novotel yang diceritakan dalam KCB II dan lain-lain. Tujuan saya kali ini adalah Pasar Klewer dan Kraton Kasunanan. Sekitar 500 meter saya berjalan ada plang penunjuk arah yang memberitakan bahwa ke arah kiri jalan adalah menuju Mangkunegaraan. Namun sebelumnya saya mencari warung nasi. Saya makan tongseng. Kemudian saya masuk ke komplek Mangkunegara. Di mangkunegara ini saya dapati peta daerah wisata Kota Solo. Dengan peta ini saya tidak perlu lagi meraba-raba Kota Solo ini. saya dapat memperkirakan jarak dan daerah mana saja yang akan saya datangi serta rute paling cepat mencapainya.


Sedang asyik berjalan menuju Pasar Klewer saya mendapati sebuah plang “SELAMAT DATANG DI KAMPuNG BATIK KAUMAN”. Ternyata ini, kampung batik yang terkenal itu. Saya masuki lorong-lorong sempit kampung ini. sebagian besar kegiatan warganya di dalam rumah. Mungkin sedang membatik. Keluar dari Kampung Kauman saya memasuki Pasar Klewer. Diceritakan dalam KCB II bahwa Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Indonesia. Pasar batik dan lain-lain. selanjutnya saya menuju Masjid Agung Surakarta. Kata orang, kalau ke Solo belum shalat di masjid agung ini, maka ia belum dikatakan pernah ke Solo. Setelah sholat sunnah 2 rakaat saya meneruskan perjalan ke Kraton Kasunanan. Setelah berputar-putar sampailah saya di kraton. Kraton adalah tujuan akhir saya. Selanjutnya saya pulang hari sudah siang sudah menjelang ashar. Saya cari mesjid untuk sholat ashar.

Membaca ketika cinta bertasbih 2, membuat saya kembali bernostalgia di kota sederhana yang asri dan berwibawa. Daerah-daerah yang diceritakan dalam buku ini pernah saya lalui, membuat saya semakin menyelaminya. Dan satu lagi, saya jadi ingin mencari dimana Desa Sraten, Desa Wangen dan pesantren Daarul Quran. Apakah pesantren ini benar adanya atau hanya sekedar fiksi yang dibuat-buat oleh kang abik. Saya jadi ingin bertanya kepada kang abik, benarkah pesantren Daarul Quran itu ada? Jika ada saya akan datang mengunjunginya. Insya Allah. Sekali lagi terima kasih kang abik yang sudah membantu saya menikmati Kota Solo kembali tanpa harus ke sana.

Saya tamatkan buku KCB II pukul 23:44 PM, 27 Nov 2007

Ketika Cinta Bertasbih Bagian Pertama


Novel ini sangat menarik, persis seperti Ayat-Ayat Cinta. Bahasanya halus, setiap kata seperti benar-benar dipilih oleh sang penulis, tidak sembarang kata. Seperti seorang pujangga yang memikirkan sebuah kata yang tepat untuk dirangkai menjadi sebuah puisi yang indah. Seperti itulah gambaran bahasa dalam novel ini. Kemudian isinya yang sarat makna, jauh dari kesia-siaan. Membaca buku ini tak ubah seperti kita sedang membaca sebuah kitab agama yang ditulis dengan bahasa sastra. Indah tanpa mengurangi makna dan yang terpenting kita (baca: pembaca) tidak pernah merasa digurui oleh sang penulis. Harus diakui bahwa novel ini memiliki muatan dakwah yang mengajak pembacanya untuk lebih mengenal Allah dan kembali kepadanya. 


Namun, sebelum itu saya ingin sedikit bercerita bagaimana saya mendapatkan kedua buku ini. Untuk buku pertama saya mendapatkan tawaran dari seorang Ustadz, kami biasa memanggilnya Bang Didi. Beliau mengirimkan sms yang isinya begini, “Bag, buku Habiburrahman yang baru, Ketika Cinta Bertasbih sudah keluar harganya Rp. 52.500 untuk antum diskon 10 %, mau?” Tanpa berpikir lama langsung ku balas sms- beliau, “Mau bang, tapi ana belum ada uang sekarang.” “Gampang, nanti abang sholat jum’at di dakwah (Masjid kampus)” jawab Bang Didi. Selesai sholat langsung saya ambil bukunya, sesuai kesepakatan buku ini dapat ku lunasi nanti di awal bulan. 

Sepulang dari masjid, langsung ku baca buku ini. Persis seperti buku sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih I (KCB I) juga menggambarkan mesir dengan detail. Bedanya, dalam KCB I berkisah seorang mahasiswa Indonesia yang harus bekerja keras menghidupi dirinya dan keluarganya di Indonesia. Ia lakukan itu semua karena Sang Ayah meninggal dunia. Ia tinggalkan keinginannya untuk konsentrasi belajar. Ia bagi konsentrasinya untuk belajar dengan berbisnis tempe dan bakso di Mesir, lebih tepatnya dikatakan berbisnis sambil belajar. . Pasarnya adalah mahasiswa Indonesia, serta para pegawai di KBRI kairo. Si Azzam yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini, harus bekerja keras selama 9 tahun untuk bekerja dan menyelesaikan studinya. Setelah 9 tahun ia pulang ke Indonesia dengan membawa ijazah Lc. Selain itu juga ia berhasil menyekolahkan 2 orang adiknya hingga selesai sarjana psikologi dan D3 PGSD. 

Selain kisah si Azzam yang berjuang untuk terus menghidupi keluarganya, novel ini juga dibumbui kisah-kisah cinta khas Habiburrahman. Bagi yang sering membaca novelnya, pasti dapat menarik sebuah kekhasan kisah cinta yang disajikan kang abik. Akhirnya, seperti buku AAC, KCB I saya tamatkan dalam 2 hari. Kisah yang menggantung di KCB I, menharuskan saya membeli atau membaca KCB II. KCB II yang dinanti tak kunjung tiba. Para pembaca masih penasaran, bagaimana kabar si Azzam yang pulang ke Indonesia. Dengan siapa akhirnya ia akan menikah, apakah dengan gadis yang pernah dikisahkan seorang supir dubes KBRI kairo, atau dengan yang lain. pertanyaan itu terus memburu, namun yang dinanti tak kunjung tiba. Lebih dari setahun penantian itu.  
 
Akhirnya ada titik cerah, sekitar 20 November 2007, saya sengaja browsing di internet, kepada om google saya tanyakan kabar buku KCB II, sekedar ingin tahu kabar terbarunya. Karena saya mendengar kabar angin bahwa lanjutan Ketika Cinta Bertasbih 1 itu telah keluar. Saya dapati seorang menuliskan berita kegiatan Book Fair di Jakarta. Dalam berita ini penulis menceritakan launcing buku KCB II. Pengunjung yang membludak dan stand Republika yang langsung diserbu pengunjung. Artinya buku itu memang sudah beredar. Perburuan saya dilanjutkan, saya menghubungi bang Zaki, penjual buku langganan. Sampai sekarang sms saya tidak dibalas. Kemudian saya menghubungi teman, Ahmad, kata Ahmad saya diminta menghubungi kak Dewi, salah seorang pegawai di toko buku Toha Putra. Jawabannya “Maaf belum keluar.” Saya berpikir kalau di Toha belum ada, maka di beberapa toko buku di Medan belum ada juga. Untuk sementara perburuan dihentikan.

Titik cerah saya dapatkan saat seorang teman, Rinaldi. Rinaldi bercerita bahwa temannya, Fajar pernah melihat salah seorang dosennya membaca buku KCB II. Fajar bertanya kepada dosennya tersebut, jawabannya, “buku ini anak saya yang beli, dia anak Ekonomi, katanya sih dapat di bazaar buku.” Tinggal tanya ke anak dosen ini. Saya minta ke Fajar untuk mencari tahu dimana bazaar bukunya kepada anak dosennya tersebut. Tanggal 27 November 2007, pukul 11:24 AM, saya mendapatkan sms dari Fajar melalui teman saya Rinaldi yang isinya, “Aslmkm, Nal, bilang ya ma BagKi..Ketika Cinta Bertasbih 2 ada di bursa mahasiswa.. kayaknya tinggal satu.. Dari Fajar.” Langsung saya pergi ke Atm mengambil uang secukupnya. Saya tidak berhenti berharap semoga buku ini masih belum diambil orang lain. Keluar dari Atm saya langsung menyetop angkot ke pintu 1 kampus USU. Dari pintu 1 ke bursa mahasiswa sekitar 300 meter. Setiap melihat orang yang mengarah ke bursa mahasiswa saya harap ia tidak mengambil buku yang sudah saya nantikan lebih dari setahun itu. 

Sampai di bursa mahasiswa saya langsung mengedarkan pandangan saya ke arah tumpukan buku-buku kuliah yang dijual di bursa ini. menurut penuturan Fajar, buku KCB II sampulnya berwarna Hijau. Saya fokuskan mencari buku bersampul hijau. Saya bersyukur buku itu belum diambil orang lain dan memang benar tinggal sebiji. Langsung saya ambil bayar ke kasir dan pergi ke kampus. Ada kepuasan yang sulit saya gambarkan. Saya seperti memenangkan sebuah perlombaan memburu sesuatu. Saya tersenyum puas, puas sekali, “akhirnya kau tertangkap.”saya berkata kepada buku hijau ini. 

(28 Nov 2007, 07:16 AM)

40 Days In Europe Bag. 2


rasanya gak juga bosan membicarakan masalah ini. beberapa waktu yang lalu saya membeli buku 40 days in Europe. buku tentang memoar 35 siswa smu 3 bandung 40 hari di eropa mengikuti berbagai festival musik tradisional di 5 negara eropa. dalam festival2 itu, ke-35 anak ini membawa angklung sebagai senjata utama. berbagai penghargaan tertinggi berhasil mereka dapatkan. mereka juga mampu menarik perhatian banyak penonton.

namun, dibalik itu saat ini sedang gencar-gencarnya aksi klam-mengklaim budaya indonesia oleh malaysia. mungkin malaysia sudha kehabisan ide dalam berkarya, sampai-sampai tega mengklaim produk yang telah lama dikenal dunia, bahwa itu milik indonesia. namun sekali lagi ada satu hal yang disesalkan, kita bangsa indonesia tidak seluruhnya mengetahui masalah ini. dan kalu tahu mungkin gak mau ambil peduli. untuk masalah lain kita rela berjalan (long march) namun untuk kekayaan kita yang dicuri (baca: dirampok) kita tetap adem ayem. sepertinya perjuangan ke-35 anak bandung yang berusaha mengenalkan ANGKLUNG di eropa tahun 2004 kemarin tinggal kenangan saja. ah...

sedih memang. di saat kita sibuk berusaha meniru budaya orang lain. kita justru melupakan akar budaya kita sendiri. banyak sudah kekayaan kita yang diambilbangsa lain. mulai dari kekayaan bumi (alam), kekayaan sumber daya (orang-orang pintar yang tidak ingin pulang), kekayaan intelektual (teori baru yang dikembangkan anak indonesia namun di patenkan dengan negara seberang) dan kekayaan budaya (angklung, batik, rendang, dll). 

entah sampai kapan kita terus terpuruk, tanpa mau peduli. seperti tidak ada harganya negara ini. bangsa lain seenaknya menginjak-injak harga diri kita. tapi kita kok masih bisa diam dan tersenyum. ada dua pertanyaan kalau tidak karena bersabar (menunjukkan kewibawaan dan ketengangan) atau karena takut alis gak berani. hanya kita yang tau jawabannya.

sebuah ucapan terima kasih yang terdalam untuk Maulana M syuhada dan kawan-kawan yang tidak dapat saya sebutkan di sini. seperti perkataan sam (di Film "Transformer") "Tidak ada pengorbanan, maka tidak ada kemenangan." ya.. kalian sudah berkorban untuk sebuah kemengan bangsa ini di dunia. kita tidak bodoh, kita tidak miskin, yang kurang dari kita adalah ketidak inginan untuk sedikit berkorban untuk orang lain. 

ya.. mungkin itu.

medhant, 14 nov 2007
Bag Kinantan

40 Days In Europe


Duh... gak sengaja sebenarnya belinya... tapi dari ketidak sengajaan itu berbuah menjadi kecintaan.... di tengah kerasnya pemberitaan tentang klaim malaysia akan angklung. alat musik khas indonesia yang sudah mendunia. Di saat itu muncul buku yang semakin menegaskan eksistensi angklung sebagai karya anak bangsa indonesia.
buku memoar 35 anak indonesia yang berkelana di eropa demi sebuah aktualisasi diri dan pengakuan akan kekayaan bangsa ini. dengan modal semangat tak kenal takut, ke 35 orang ini terus bergerak menerjang badai (jadi ingat kisah di happy feet). tak peduli dengan segala rintangan yang "bakal" menghadang. kenapa saya katakan "bakal", sebenarnya dalam perhitungan maulana, adalah sulit untuk bergerak di eropa selama 40 hari dengan dana pas-pasan. namun modal semangat itu yang mendorong semuanya. 
kesuksesan berlapis-lapis atas kesungguhannya yang mereka temui...tentunya dengan iringan masalah yang tak kunjung usai mendera sepanjang perjalanan. 
ah... kisah ini memang terlalu indah untuk sekedar di ingat. terima kasih banyak kang maul, engkau telah membuka mata hati banyak orang tentang sebuah "pilihan" dalam hidup. maju terus untuk dikenang atau mundur sebagai pecundang yang tidak melakukan apa-apa.
luar biasa.... 
dan anda harus baca ini....

Jika Aku Berguru ; Nama Tuhan Di Sebuah Kuis

Jika aku berguru, aku tidak meminta guru yang dapat mengajariku punya kemampuan terbang dan menghilang. 

Cukuplah bagiku jika sang guru mau membimbingku untuk belajar menyingkirkan batu di jalan, rela pada keberuntungan orang lain, sabar atas kemalangan diri sendiri, senang melihat tetangganya punya barang baru, mencintai anak-anak, menyayangi hewan…. 

Dari guruku, aku tidak mengharapkan pelajaran apapun selain pelajaran merendahkan diri dan merendahkan hati. Jika ada seseorang yang memiliki kualitas kerendahan hati dalam arti yang sebenarnya, kepada merekalah aku datang berguru.
 
(Prie GS, Nama Tuhan di Sebuah Kuis)

 
Sederhana dan menyentuh sisi-sisi humanisme. Ditulis oleh seseorang yang dibesarkan oleh kehidupan. Banyak nilai-nilai yang sebenarnya sering kita lalui, namun hal itu menjadi luput dari penglihatan kita. Entah karena kita yang terlalu sombong untuk sedikit melunakkan hati ini untuk sedikit merendah dan mencoba mendengar desah nafas kehidupan yang ada disekitar kita. 

Saya yakin bahwa perasaan “merasa” tidak perlu itulah yang akhirnya memaksa mata batin kita tertutup dari pelajaran-pelajaran kehidupan. Oleh sebab itulah Prie Gs menulis dalam sebuah artikel dalam buku ini tentang ‘Yang Aku Butuhkan’. Jika ia berupa ilmu pengetahuan, cukuplah ilmu yang mengajariku tentang kebodohan. Bahwa apapun yang kupelajari, pasti hanya untuk menegaskan kebodohanku sendiri. Bahwa jika semua isi kepalaku dibuka dan kutadahkan, ia tak akan sanggup menampung seluruh pengetahuan semesta raya. Jangankan berbangga diri mentang-mentang berilmu, merasa berilmupun telah merupakan bentuk penegasan tentang kebodohanku. 

Kita tidak sadar tenyata kita memang belum memiliki apa-apa. Kita begitu bangga dengan kehidupan yang melingkupi kita saat ini, tanpa perlu membuka mata dan telinga kita bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Bahwa sehebat apapun kita, itu semua tidak lepas dari orang-orang disekeliling kita. Kita sesungguhnya di besarkan oleh lingkungan kita. Jika pada saat ini anda atau kita semua adalah seorang yang kaya raya, itu adalah sebuah buah dari sekeliling kita yang masih hidup dalam lingkaran kemiskinan. Jika kita adalah orang yang pandai, itu karena ada orang-orang yang kurang pandai di sekitar kita. Dan banyak lagi hal-hal lain diluar diri kita yang sebenarnya memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan kita. 
 
Maka jangan pernah berhenti belajar, sekali-sekali rasakan denyut kehidupan disekitar kita dan resapi setiap nilai yang ia berikan. Sungguh kita akan merasakan sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Hidup dalam artian bahagia sesungguhnya.
 
Ah.. Jika ada seseorang yang memiliki kualitas kerendahan hati dalam arti yang sebenarnya, kepada merekalah aku datang berguru.

Medan, 10 Juli 2008

Menggenggam Dunia : Bukuku Hatiku Catatan Seorang Avonturir


Buku ini adalah karya fiksi kedua dari gola gong, setelah perjalanan asia yang kemudian diterbitkan kembali dengan judul the journey. Di cover buku ini ada sebuah pendapat dari majalah matabaca yaitu “buku ini, menyadarkan kita untuk tetap semangat menjalani hidup yang tidak akan pernah kita tahu ujung akhirnya”. 

Sesuai dengan judulnya, dunia itu sebenarnya sudah di petakan ke dalam lembaran-lembaran buku. Oleh sebab itu, bagi kita yang ingin menggenggam dunia, maka perlu bagi kita untuk banyak membaca dan mengendapkan hasil bacaan kita itu ke dalam memori kita. 

Melalui buku ini, Gola gong mencoba untuk menyalurkan energi positif kepada kita yang membaca buku ini. Bahwa kehidupan ini bukan untuk disesali namun untuk dibentuk sesuai dengan kemampuan kita. Apapun yang dapat kita berikan untuk membentuk hidup itu, harus kita kerjakan. Karena seperti dalam sebuah ungkapan ornag bijak bahwa kehidupan itu tidak mengenal siaran tunda. Artinya kehidupan itu akan terus berjalan, walaupun kita tidak mengisinya dengan pekerjaan yang positif. Kehidupan itu seperti roda yang berputar, siapa yang tidak terus berputar, maka ia akan terlindas roda zaman itu sendiri.

Terkait dengan kebiasaan membaca, gola gong memiliki tesis tersendiri, bahwa kebiasaan itu akan terbangun dengan baik, jika sejak di rumah, si anak telah dikenalkan dan berkenalan dengan dunia buku. Tentunya peran orang tua sangat strategis dalam membangun kebiasaan membaca ini.

Ada banyak keuntungan yang akhirnya akan di dapat dengan kebiasaan membaca yang dibangun dari sejak dini. Salah satu yang terpenting adalah kebiasaan membaca akan memberikan atau membentuk kepercayaan diri pada diri si anak. Ibarat orang yang berpergian dan ia telah membaca bekal yang banyak, maka ia tidak akan menemui kesulitan dalam perjalannya. 

Dalam buku ini gola gong mencoba untuk menceritakan pengalamannya dengan buku. Terutama setelah ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangannya harus di amputasi hingga siku. Sejak ia berumur 11 tahun ia harus menjalani hidup dengan status baru : orang cacat. 

Pada awalnya, Gola Gong mengalami sebuah tekanan dalam diri yang sangat berat, karena harus menjadi orang yang “berbeda” dengan lingkungannya. Namun, orang tuanya menyadari kegelisahan yang dialami oleh Gola Gong kecil. Untuk membangun kepercayaan diri Gola Gong yang akan segera kembali menikmati masa kanak-kanaknya, orang tuanya mengajak Gola Gong kecil “membaca” lingkungan, membelikan banyak buku, dan memperkenalkan berbagai hal yang membuatnya lebih unggul dari teman-temannya. Justru saat ia kembali ke lingkungannya dan kembali bergaul dengan teman-temannya, Gola Gong justru tampil sebagai sosok yang dominan karena mengetahui banyak hal. Jurang psikologis antara Gola Gong dan teman-temannya yang normal berhasil dikikis dengan pengetahuan yang ia miliki. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa semua itu terjadi karena gola gong membaca, baik buku maupun lingkungannya.  

Dalam buku ini juga, Gola gong menceritakan tentang sebuah cita-citanya. Cita-cita menjadikan daerahnya, Banten yang lebih maju dalam hal pengetahuan, budaya literasi dan kesadaran untuk belajar dan belajar di kalangan anak mudanya. Satu hal yang gola gong yakini bahwa pemuda adalah asset paling berharga yang dimiliki sebuah bangsa, jika rusak pemudanya maka Negara tersebut hanya tinggal menunggu mati digilas roda zaman yang terus berputar. Negara tanpa pemuda yang tangguh hanya akan menjadi bulan-bulanan Negara lain. 

Untuk itulah gola gong membangun sebuah learning center di rumahnya. Tempat itu dinamakan Rumah Dunia. Di rumah dunia, para pemuda, anak-anak belajar bersama bagaimana membaca, menulis, teater, membaca puisi, dan lain-lainnya. Berawal dari sebuah mimpi/ cita-cita, sekarang Rumah Dunia telah banyak melahirkan penulis-penulis handal di tingkat banten maupun tingkat nasional. Sebuah prestasi yang dibangun dari sebuah mimpi / cita-cita. Dan untuk mewujudkan itu semua, gola gong membutuhkan waktu yang tidak singkat, perlu beberapa tahun untuk melihat hasilnya seperti saat ini. Pengorbanan waktu dan harta yang tidak sedikit, namun kekuatan mimpi membangun banten itulah yang terus menggerakkannya membangun rumah dunia. 

Pada bagian lain di buku ini, gola gong bercerita tentang perjalananya mengelilingi Indonesia. Ia teringat pesan bapaknya bahwa, sebelum engkau mengelilingi dunia, kenali dulu seluruh kota di negerimu ini. Melalui cerita ini, gola gong ingin memberikan sebuah petunjuk bahwa kita harus punya mimpi dan keinginan kuat untuk mewujudkannya. Hidup bukan Cuma angan-angan, namun harus diisi dengan pekerjaan nyata. Gola gong pernah bermimpi mengelilingi dunia, dan satu demi satu mimpi itu ia wujudkan, salah satunya dengan mengelilingi Indonesia. 

Lewat buku ini, kita akan merasakan energi besar yang dimiliki gola gong dalam menyampaikan ide-idenya tentang proses pembangunan mentalitas belajar. Melalui kelima jarinya gola gong seperti tidak pernah kehilangan energi untuk terus menyusun kata-kata. Boim lebon pernah bercerita sewaktu pernah tinggal di rumah kos yang sama. Tiap malam gola gong tidak henti-hentinya mengetik, menyusun kata-kata dengan mesin tiknya. ”Bunyi mesin tik gola gong, ibarat alunan indah yang membakar semangat kami untuk terus menulis dan menulis. Gola gong yang dalam keadaan ’cacat’ saja dapat terus menulis, kami yang normal masa’ sih gak bisa.” begitu kenang Boim.