Pandangi Langit


Pernahkah anda mencoba untuk sekali waktu mendongakkan kepala, membentangkan tangan anda, menarik udara dalam-dalam, dan menatap birunya langit di pagi atau sore hari? Sangat mengasyikkan bukan?
Ada sebuah terapi bagi kita yang memiliki kebiasaan untuk “marah-marah” atau sangat emosional. Terapi itu adalah saat emosi sedang memuncak dan ingin marah besar, marah saja, namun, pandangan anda jangan ke bawah, atau ke depan tetapi ke atas. Padanglah langit atau langit-langit ruangan kita. Dengan sendirinya amarah yang memuncak itu akan sedikit demi sedikit akan terkurangi. Bahkan kita mungkin akan tertawa dengan apa yang kita lakukan itu.
Mungkin ini juga yang menjadi sebab, jika kita sedang menjalani terapi psikologi, kita akan diminta untuk duduk dikursi yang mengharuskan kita untuk melihat langit-langit. Bagi kita yang tidak pernah terapi kejiwaan, ada baiknya juga kita perhatikan film-film yang ada adegan terapi kejiwaan. Kursi yang digunakan untuk terapi itu bukan tempat tidur, namun untuk kursi, sandarannya sangat landai dan dudukannya lebih panjang. Jadi kita dapat selonjoran di kursi itu. Sambil menyandarkan kepala kita disandarannya, kita akan berada pada posisi setengah tidur, satu setengah duduk.
Untuk itu untuk menenangkan jiwa yang gundah gulana, untuk mengurangi beban dalam jiwa ini, untuk memperluas pikiran dan jiwa, ada baiknya kita membiasakan untuk menyempatkan waktu untuk memandangai langit pagi dan sore hari. Atau jika saat hari cerah, tidak ada salahnya jika kita juga sempat memandangi langit malam hari. Bayangkan betapa luasnya langit, seperti itulah kasih sayang Tuhan pada kita, seluas langit dan bumi. Dengan adanya kesadaran jiwa tentang luasnya kasih sayang Tuhan, maka akan muncul kepercayaan diri kita. Karena, kita percaya bahwa kita tidak sendirian ada Dia bersama dalam langkah-langkah kita.
Pandangi langit.
Salam Hangat
Bag Kinantan, ST
Trainer Supergila Learning and Therapy Center

SI ANAK KECIL DAN KEYAKINANNYA


Sabtu ini seperti sabtu yang lain, hari yang melelahkan. Hari ini memang dialokasikan untuk kegiatan praktikum di lab. Otomatis seharian sekitar 8 jam akan ku habiskan di lab. Bersama teman-teman asisten yang lain, kami sedang mempersiapkan lab untuk sebuah pemeriksaaan rutin. Ah… melelahkan. Dan jarang orang mau berlelah-lelah jika hanya lelah saja tanpa uang lelah. Sudah susah mencari orang-orang yang mau mengeluarkan tenaganya gratis, dan akupun berpikir untuk sekedar menyenangkan hati mereka dengan sekedar mengajak mereka untuk minum.

Hari sudah magrib saat kami meninggalkan lab. Kami adalah orang terakhir dikampus ini. Seluruh pintu sudah dikunci, tinggal satu pintu masuk yang memang ada mahasiswa yang memegang kuncinya. Tak seperti biasanya iapun pulang cepat malam ini. Biasanya mereka di kampus sampai tengah malam.

Di sinilah cerita berlanjut. Kami berlima menuju masjid dakwah untuk sholat. Selesai sholat kami pergi ke sebuah rumah makan yang ada di pusat jajanan Dr Mansur. Di daerah ini ada 20-an café dengan menu yang berbeda satu sama lain. Kami pilih salah satu diantaranya. Kali ini menu utamanya adalah burger. Setelah dipesan dan menunggu pesanan datang aku menuju masjid yang terletak tepat di sebelah café ini. Sholat Isya. Sesampai di masjid dan hendak mengambil air wudu, ku jumpai wajah seorang anak kecil. “Inikan yang jualan kerupuk jangek tadi.”pikirku.

Terus terang aku begitu terenyuh saat ku temui ia di masjid ini. Untuk sholat Isya pula. Sholat yang sangat sulit dikerjakan oleh orang-orang munafik, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Ah.. luar biasa, dan ia sholat tepat di sebelahku. Ingin ku sapa dan ngobrol sedikit sekalian membeli produknya. Ku tunggu, ia masih duduk dalam doanya. Sangat khusuk dan penuh kepasrahan. Luar biasa, keadaan seperti ini yang menjadi jalan hidayah seorang bule untuk masuk Islam. Saat ia melihat begitu pasrah dan berserahnya seorang anak dalam doanya. Dan sekarang aku melihatnya, sungguh sebuah pengalaman batin yang luar biasa. Ku keluarkan uang di kantong celanaku. Maksudku hanya ingin membeli, tidak sekedar sedekah. Saat sedang memasukkan tangan ke kantong, salah seorang adik kelasku yang pergi bersamaku memasukkan uang ke kantong dagangan anak tadi. “Udah bang, yuk.” katanya kepadaku setelah ia masukkan uangnya. Ah.. kalah cepat aku. Ku tinggalkan mesjid, aku berharap kalau anak tadi datang ke kafe tempat aku makan dan ku niatkan untuk membeli kerupuknya.

Namun, sayang ia mengambil arah yang berlawanan dengan tempat aku makan. Seorang anak yang mungkin saja usianya sekitar 11-24 tahun, begitu yakin dan berserahnya ia dengan rejeki yang Allah berikan kepada manusia. Padahal, jika mengikuti nafsu, ia bisa saja meninggalkan sholatnya dan terus berdagang. Kemungkinan kerupuknya laku lebih besar karena waktunya lebih banyak untuk menjajakan produknya.

Namun, sekali lagi ia begitu yakin dan menyerahkan segalanya kepada Allah yang membagi rejeki. Ia begitu yakin bahwa rejekinya hari ini sudah ditentukan dan ia tinggal menjemputnya. Sebuah pelajaran akan keyakinan dan kekuatan keimanan, luar biasa.

Aku teringat akan pekerjaan “menjajakan” buku di sebuah pusat perbelanjaan HP di Medan. Saat itu aku bertindak sebagai seorang sales buku-buku keislaman. Besarnya upah yang ku terima adalah tergantung banyaknya buku yang berhasilku jual. Tidak banyak hanya 10 % dari harga buku yang berhasil ku jual. Di counter ini, ada 5 orang yang bertugas menjajakan buku. Tugas kami seperti sales lainnya, menawarkan buku, menjelaskan sejelas-jelasnya hingga ia membeli buku tersebut. Tentunya akan ada persaingan di antara kami berlima, karena penghasilan amat tergantung dari banyaknya buku yang terjual.

Namun, sebuah pelajaran akidah, bahwa Allah itu maha pemberi rejeki. Setiap orang sudah ditentukan rejekinya, sejauh mana ia berusaha untuk menjemput rejeki yang telah tertulis itu. Dan hal itu yang ku camkan, aku tidak perlu iri saat melihat teman-teman berhasil menjual hingga ratusan ribu sementara aku tidak berhasil menjual satupun. Anak tadi kembali membuka memoriku, sebuah pelajaran dasar tentang akidah, bahwa rejeki itu datang dari Allah, kita ditugaskan menjemputnya. Namun, kita jangan sampai meninggalkan kewajiban kita untuk beribadah kepada-Nya. Terimakasih adik kecil, engkau kembali membuka memori dan mengingatkanku, bahwa Allah senatiasa bersama orang-orang yang beriman dan bersungguh-sungguh. Terimakasih.

Medan, 11 November 2007

B - B = 0

Baru sekarang aku merasakan bahwa dengan Membaca membuat hidup ini lebih hidup, seperti mendapatkan energi yang tidak pernah kering, terus bersemangat, serasa ingin hidup selamanya. Setiap deretan kata-kata itu memiliki energi, dengan membaca kita menyerap energi itu ke dalam tubuh kita.

(Ibnu Adam Aviciena/ Penulis)

Ada hal yang menarik saat saya membaca rumusan di atas, “B – B =0.” Ada apa dengan formula ini, mengapa begitu menarik perhatian saya? Hampir disetiap sudut kampus USU ada spanduk yang berisi slogan ini (B-B = 0). Ada dua makna yang saya dapatkan dari rumusan ini. Secara denotatif, rumus ini adalah benar adanya. Dua variabel yang memiliki nilai sama, jika dikurangi hasilnya adalah nol. Sedangkan secara konotatif, rumusan ini memiliki makna yang cukup dalam. Dan saya mendapatkannya saat pameran buku di Fakultas MIPA USU. Maknanya adalah “Belajar tanpa Buku adalah Omong kosong.” Kalau boleh saya tambahkan, Buku tanpa Baca adalah Omong Kosong pula. Rumusan ini harusnya ditulis di setiap tempat guna mengingatkan anak-anak muda Indonesia untuk belajar, belajar dan belajar sepanjang hidup mereka.

Banyak orang yang pernah saya temui, ada yang senantiasa belajar, membaca, dan tidak sedikit yang malas belajar. Di antara mereka terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Seperti dua kondisi cerah dan mendung. Bagi yang senantiasa belajar “cerah” adalah kondisi yang akan mereka lewati dan “mendung” adalah kondisi untuk mereka yang “malas” belajar.

Belajar tidak hanya apa yang kita dapatkan di bangku sekolah. Banyak pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dalam kehidupan. “Universitas Kehidupan.” Untuk mereka yang terus belajar dari kehidupannya adalah orang yang terus tumbuh dan tumbuh. Pengetahuan baru akan terus mengalir ke dalam kepala mereka. Sedangkan untuk mereka yang malas, satu-persatu ilmu yang ada di kepala mereka akan rontok, berguguran seperti daun jati yang meranggas di musim panas. Sampai akhirnya ia habis dan mati.

Saya pernah mengikuti sebuah lembaga pelatihan, di dalamnya kami diharuskan untuk terus membaca dan membaca. Istilah itu kami sebut sebagai membangun referensi. Tidak hanya dinikmati sendiri, hasil membaca itu kami bagikan untuk teman-teman lain. Sharing pengetahuan di antara kami, saling mengisi dan ini akan membuat kita terus menjadi kaya akan pengetahuan. Akhirnya kita akan banyak memiliki amunisi dalam menjalani kehidupan.

Steven Covey mengatakan dalam bukunya bahwa, “proses membaca” kita hanya berlangsung selama kita berada pada jenjang pendidikan formal saja. Habis setelah masa pendidikan formal itu, maka habislah proses membaca kita. Sesaat setelah kita menerima STTB (Surat Tanda Tamat Belajar), maka “tamat”lah proses belajar dalam kehidupan kita. Kita seperti lepas dari penjara yang mengungkung kita dengan deretan kata-kata dan untaian rumus-rumus. Lanjut Steven Covey, kita lebih senang menonton televisi.

Banyak sekali keuntungan yang akan kita dapatkan dari membaca, kesemua itu mungkin tidak kita rasakan sekarang, tapi nanti akan kita rasakan betapa membaca itu akan banyak membantu kita. Akan banyak rumus atau jurus dalam menjalani kehidupan.

Kehancuran suatu bangsa dimulai ketika pemudanya berhenti belajar (membaca). Karena ke depan bangsa ini akan dibangun oleh orang-orang yang bingung harus berbuat apa. Pada akhirnya bangsa ini akan tenggelam, karam ditengah-tengah lautan persaingan global yang menuntut setiap bangsa untuk dapat bersaing, minimal mampu bertahan dalam kerasnya arus persaingan belakangan ini.

Hanya orang yang memiliki persiapan matanglah yang akan selamat dalam persaingan global. Bagi yang malas selamat tinggal.

*) Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri USU,

Anggota KAMMI USU

Medan, 14 Desember 2004.

Direvisi 3 Desember 2006

DOBRAK!!

Pembuka

Sekitar 40 orang siswa sedang berkumpul di sebuah ruangan. Saat ini mereka sedang memusatkan pikiran mereka kepada sebuah titik. Di tengah-tengah mereka, berdiri seorang instruktur yang terus meminta mereka untuk memusatkan pikiran. Instruktur meminta setiap peserta untuk mengumpulkan semua kelemahan yang ada pada diri mereka ke satu titik. “Bayangkan semua kelemahan diri anda berkumpul di satu titik.” Setelah beberapa saat instruktur meminta peserta untuk berteriak sekeras-kerasnya dan loncat setingginya. “Pecahkan semua kelemahan yang sudah anda kumpulkan tadi.” Seluruh peserta mengikuti instruksi dari instruktur. Mereka berteriak dan meloncat berusaha memecahkan bulatan besar dalam pikiran mereka yang berisi kelemahan pada diri mereka. Apa yang dilakukan para siswa di ruangan itu adalah awal dari rangkaian pelatihan kepemimpinan siswa di Lampung.

Peserta pelatihan ini adalah calon pemimpin masa depan Lampung. Di awal terlihat sulit sekali peserta untuk melawan kelemahan dari dirinya. Dan cara ini ternyata berhasil menghancurkan dinding tebal yang menyekat diri peserta. Mereka lebih rileks saat mengeluarkan ide-ide. Sebuah kata kunci yang ditanamkan kepada peserta adalah DOBRAK KETERBATASAN. Dobrak saja! Jangan pernah ragu, siapa tahu dinding yang menjulang di depan kita adalah dinding kertas yang dapat kita hancurkan dalam sekali terjang. Selama ini yang ada adalah sugesti diri bahwa setiap dinding yang ada di depan kita adalah dinding beton yang tidak akan pernah mampu kita hancurkan.

Ya! Dobrak Keterbatasan yang ada pada diri kita agar keluar semua potensi yang ada dalam diri kita. Lihatlah seseorang yang dikejar Anjing dapat melompati pagar yang tinggi. Kadang potensi diri itu muncul setelah mendapat pemicu alias saat kita dalam keadaan tidak sadar. Sedangkan pada saat kita sadar, sulit sekali rasanya untuk berbuat sesuatu yang Wah!

Semangat untuk berbuat lebih yang akhirnya dilakukan para peserta pelatihan tadi terjadi setelah mental juara dalam diri mereka keluar. Mentalitas juara inilah yang mengubah seorang pemalu menjadi pemberani, orang lemah menjadi kuat dan seterusnya. Dan hingga pelatihan selesai, seluruh peserta memberikan kontribusi pemikiran yang luar biasa. Kontribusi yang di awal sangat sulit untuk dikeluarkan, akhirnya dapat keluar dengan lancar.

Nasib bangsa

Masalah mentalitas ini yang sekarang sedang menggerogoti bangsa ini. Padahal Mental yang kuat adalah sumber bahan bakar yang tidak pernah habis dalam bergerak. Bergerak menuju arah yang lebih baik. Kita lihat yang terjadi pada Piala Dunia 2006 di Jerman. Tim-tim besar yang begitu tangguh di penyisihan group, namun di babak knock out, mereka belum memiliki mental yang cukup tangguh untuk menembusnya.

Bangsa Indonesia bukan tanpa potensi, banyak sekali potensi terpendam. Hanya saja untuk membangunkannya diperlukan waktu yang agak lama. “Indonesia masih ada.” Salah seorang pejabat di lingkungan Menteri Pendidikan berkata saat menyambut tim Olimpiade Fisika Indonesia. Tim yang berhasil membawa pulang mendali Emas pada perlombaan tingkat internasional itu.

Satu hal yang perlu dicatat adalah konsistensi dalam menjaga agar mentalitas juara ini senantiasa ada. Konsistensi akan terjadi jika terdapat persiapan yang matang dalam menyambutnya dan didukung lingkungan yang baik. Kondisi yang bermental itu memang perlu diciptakan. Kita sering melihat orang – orang lemah, namun saat berada pada persaingan tingkat tinggi akan lebih baik daripada, orang-orang yang terbaik di lingkungan persaingan yang rendah.

Di Jepang orang-orang begitu termotivasi untuk berkarya. Di negara ini tidak ada tempat bagi orang yang tidak berkarya (baca: gagal). Maka tidak heran jika kita sering mendengar kasus bunuh diri di Jepang. Bagi mereka tidak ada lagi tempat bagi orang yang gagal, tidak ada guna hidup jika gagal.

Krisis Kepercayaan Diri dan Harapan

Berawal dari kepercayaan diri yang tinggi berbagai karya tercipta. Jika seseorang telah kehilangan kepercayaan dirinya, ia tidak ubahnya seperti orang yang telah mati. Di tahun 1980-an, di Amerika Serikat, terjadi krisisi kepercayaan diri, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan di setiap sendi kehidupan masyarakat Amerika kala itu. Presiden Carter, pada pidato akhir tahunnya menyampaikan tentang masalah ini, masalah krisis kepercayaan diri. Kepercayaan diri yang hilang karena kekalahan Amerika di Perang Vietnam, kekalahan teknologi oleh Jepang, volume perdagangan dan lain-lain. Dan ia berharap, masyarakat Amerika kembali bangkit dan merenggut kejayaan yang hilang pada diri mereka. Akhirnya, kepercayaan diri itu muncul dan Amerika kembali menguasai dunia.

Harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik, akan memicu orang untuk bekerja mencapainya. Seperti dalam hadist Rasulullah tentang rejeki, burung yang keluar dari sangkarnya pada pagi hari Allah kenyangkan perutnya saat kembali di sore hari, masa’ sih manusia tidak mendapatkan apa-apa, setelah berusaha seharian. Ingatan-ingatan akan harapan-harapan kita, akan memotivasi berbuat lebih baik. Dengan motivasi ini munculah mentalitas juara pada diri manusia.

Mulai dari Rumah

Lingkungan yang bersaing itu dimulai dari keluarga. Keluarga yang selalu membangun suasana yang dinamis akan berpengaruh positif kepada si anak saat berada di lingkungan lain, di luar lingkungan keluarganya. Sudah banyak contoh di lingkungan kita. Siswa-siswa berprestasi adalah siswa yang memiliki dukungan penuh dari keluarganya. Walau bukan dari keluarga mampu secara materi, jika si anak dibesarkan dengan dukungan, motivasi untuk berprestasi, bukan tidak mungkin ia akan mengalahkan anak-anak orang yang “punya.” (juli 2006)

KAMU ADALAH KAMU SEKARANG!!

Pembuka

Dalam hadist Rasulullah bersabda, gunakan lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan. Gunakan kesehatan sebelum datang sakit, masa muda sebelum datang masa tua, keadaan berkecukupan sebelum miskin, suasana lapang sebelum suasana sempit, dan hidup sebelum mati.

Dari hadist ini Rasulullah ingin berpesan kepada kita agar senantiasa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Orang bijak mengatakan yang paling berharga adalah hati dan waktumu. Jika rusak keduanya maka hidup ini tidak ada artinya lagi. Mengenai hati, Rasulullah pernah bersabda, di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika baik daging itu maka baiklah seluruh tubuh, jika rusak daging itu maka rusaklah seluruh tubuh, apa daging itu? Hati. Begitu juga dengan waktu, pepatah arab mengatakan, waktu adalah pedang, siapa yang tidak mampu memotongnya, maka ia yang akan memotong.

Masa muda adalah masa dimana sesorang mencari jati dirinya. Siapa yang berhasil menemukan jatidirinya (baca: potensinya), maka dikehidupan selanjutnya ia tidak akan kesulitan mengarunginya. Ibarat mengukir di atas batu, ia akan terus terlihat walau sudah dimakan waktu. Akan sangat berbeda jika kita memulai pencarian saat kita sudah ‘berumur’ saat itu kita ibarat mengukir di atas air.

Apa yang harus dilakukan?

• Temukan Kelebihan Dan Kekurangan Diri

Setiap orang memiliki potensi yang sama, hanya saja coraknya saja yang berbeda. Memang tidak semua orang menyadari bahwa diri mereka itu berpotensi. Kelemahan besar bangsa ini adalah tidak memiliki kesadaran bahwa diri mereka berpotensi, sehingga dari 200-an juta manusia Indonesia yang berprestasi hanya beberapa orang saja.

Kadang, kita mengartikan potensi dengan kemampuan mengerjakan soal matematika, fisika, dan yang berbau akademis lainnya. Memang pendapat itu tidak salah, hanya saja hal itu hanya sebagian kecil dari potensi yang ada. Howard Garner seorang psikolog mengatakan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda. Paling tidak ada 8 kecerdasan yang berbeda pada masing-masing orang. Ada yang cerdas di bidang matematika, musik, gerak, natural dan lain-lain. Kesemuanya itu saling melengkapi. Biasanya masing-masing orang memiliki satu diantara delapan kecerdasan itu.

Dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan diri kita, akan sangat mudah menyusun langkah-langkah dalam hidup. Apa yang hendak dicapai, apa yang harus dipersiapkan dan sebagainya.

• Cari Dukungan

Dukungan ini perlu, tidak ada manusia yang sempurna, yang mampu mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Kita perlu dukungan positif dari orang lain. Inilah tugas kita selanjutnya, setelah kita mengetahui kekurangan. Dukungan ini bisa berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Keberhasilan kita menemukan dukungan yang pas, akan semakin memudahkan langkah-langkah selanjutnya. Dukungan positif ini akan memudahkan kita menutupi kekurangan dan terus menggali potensi kita yang lain.

• Cari Informasi

Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia. Gola gong, seorang penulis. Ia kehilangan sebelah tangannya. Sesaat ia mengetahui tangannya diamputasi, ia mengalami stress berat. Namun, bapaknya mampu membangkitkan semangat hidupnya. Bapaknya berpesan “Penuhi kepalamu dengan informasi, maka orang lain akan lupa bahwa kamu bertangan satu.” Sejak berumur 11 tahun ia bertangan satu. Namun, sejak saat itu, sejak ia sibuk mengisi kepalanya dengan informasi, ia tetap lebih menonjol dari teman-temannya (berprestasi). Ia menjadi tempat rujukan saat bertanya. Dan yang terpenting orang-orang lupa bahwa ia bertangan satu, lupa bahwa ia cacat.
Sehingga sekarang, mencari informasi adalah mutlak harus dilakukan. Kita akan tergilas perjalanan waktu jika tidak mengetahui perkembangan yang ada.

Penutup

Ada sebuah kata kunci yaitu DOBRAK KETERBATASAN, dobrak saja. Siapa tahu dinding besar di depan kita itu adalah tembok kertas yang akan hancur sekali terjang, bukan tembok beton seperti yang hadir di kepala kita selama ini. Temukan kelebihan diri, Tutupi kekurangan, Temukan dukungan yang positif, Penuhi kepala dengan informasi, maka engkau akan menguasai dunia. tidak ada yang mustahil jika kita mau berusaha dan berdoa. Kamu adalah kamu sekarang. Wallahu ‘alam. (29 Juli 2006)

*) Disampaikan di SMA N 6 Medan
**) Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri USU, Anggota KAMMI Kom’s USU

Melejitkan Potensi Diri

Jika kita membuka hati dan pikiran kita, maka kita akan sangat mudah menerima kebaikan dari orang lain. Namun, sebaliknya, jika kita menutup hati dan pikiran kita maka sekuat apapun orang lain berusaha memasukkan kebaikan ke dalam hati dan pikiran kita, maka yang akan didapatinya adalah kekecewaan. Hal ini terjadi karena ada sebuah bloking yang dilakukan oleh diri dan pikiran kita. Dalam bahasa psikologi mungkin hal ini disebut sebagai “mental block”.

Ada 3 langkah yang harus kita lakukan jika kita ingin menjadikan diri kita berdaya guna secara maksimal. Pertama yang harus kita lakukan adalah kita MENIKMATI setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada kita. Seberat apapun tugas dan tanggung jawab tersebut, kita harus menikmatinya. Oleh karena, kata-kata menikmati adalah modal dasar yang paling kuat untuk akhirnya membongkar “mental block” diri kita. Semua orang yang sukses dalam hidupnya adalah pribadi yang menikmati setiap tugas dan tanggung jawab yang datang kepadanya.

Memang, menikmati saja tidak cukup, harus dibarengi dengan “4 AS” lainnya, apa itu? Ikuti dulu langkah kedua yang harus kita lakukan agar kita berdaya guna secara maksimal. Langkah kedua yang harus kita lakukan adalah hasil dari dari langkah pertama, kita tidak akan pernah mencapai langkah kedua, sebelum kita menempatkan kaki kita pada langkah pertama, yaitu menikmati. Langkah kedua itu adalah MEMAHAMI. Ya memahami, setelah kita menikmati setiap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada kita. Lambat laun kita akan memahami, jika kita awali semuanya dari menikmati pekerjaan kita. Siswa di sekolah akan memahami pelajarannya, jika mereka menikmati kegiatan belajarnya.

Langkah ke tiga yang akan dicapai seseorang yang menikmati pekerjaannya adalah MENEMUKAN. Sekali lagi MENEMUKAN. Semua penemu, semua ilmuan yang memberikan manfaat pada kehidupan kita adalah mereka-mereka yang menjalani ketiga langkah di atas,mereka menikmati, kemudian mereka memahami dan akhirnya mereka menemukan.

Satu lagi bukti langkah-langkah ini adalah kita semua pasti mengenal Thomas Alva Edison. Yap betul, beliau adalah penemu lampu pijar. Edison adalah sosok yang sangae menikmati pekerjaannya dalam meneliti. Sebuah fakta sejarah mengatakan bahwa ia harus mencoba ratusan cara hingga akhirnya ia menemukan lampu pijar. Mencoba berbagai jenis bahan hingga akhirnya menemukan “wolfram” sebagai bahan yang paling tepat untuk membuat lampu pijar. Semua langkah Edison itu berawal dari sebuah kata menikmati.

Seperti disinggung di atas, bahwa menikmati saja tidak cukup, harus dibarengi dengan 4 AS, yaitu, kerja kerAS, kerja ikhlAS, kerja cerdAS, dan kerja tuntAS. Keepat AS ini harus dikerjakan berbarengan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Inilah langkah-langkah guna melejitkan potensi diri kita. mulai dari menikmati, akhirnya akan memahami dan akhirnya menemukan. Semua itu harus dibarengi dengan 4 AS. Ok.

Salam Hangat

Bag Kinantan, ST
Trainer di Super Gila Learning and therapy center
www.supergila.com
www.boemikoo.blogspot.com

Belajar Mendengar Lebih Dalam

Pelajaran pertama dan merupakan pelajaran yang paling penting bagi seorang pemimpin adalah pelajaran “mendengar.” Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mendengar lebih dalam dari pada orang-orang biasa. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin akan semakin jauh dan ditinggalkan oleh orang yang dipimpinnya.

Ada sebuah kisah dari sebuah negeri di antah berantah. Negeri ini memiliki seorang Raja yang bijak. Raja ini memiliki seorang anak tunggal laki-laki. Ia akan menjadikan anak tunggalnya ini menjadi orang yang akan menggantikan posisinya sebagai raja kelak. Namun sebelum itu terjadi, ia hendak mempersiapkan si anak terlebih dahulu. Si anak dikirimkan kepada seorang guru untuk dididik menjadi seorang pemimpin masa depan.

Di hari yang telah ditentukan, si anak berangkat menuju rumah sang guru. Rumah sederhana dipinggiran kota, di situlah sang guru tinggal melalui hari-harinya. Si anak memulai hari-harinya menuntut ilmu. Pelajaran yang pertama sekali ia terima adalah ia harus belajar mendengar. Sejak pagi hingga malam ia harus duduk di tengah-tengah hutan, tugasnya adalah ia harus mendengarkan suara-suara yang ada di hutan itu.

Hari pertama dimulai dan di sore harinya ia berlari menuju rumah sang guru, ia yakin sudah mampu mendengar. Ia mengatakan sudah mampu mendengar suara dari kera yang ada dipohon, suara burung-burung di dahan-dahan yang tinggi, dan suara hewan yang lain. Jawaban singkat dari sang guru, “Kau belum mampu mendengar, anakku.” Berangkatlah si anak raja kembali ke hutan tempat ia belajar mendengar.

Kali ini ia berusaha dengan keras untuk mampu mendengarkan lebih dalam, bukan suara-suara yang kemarin. Kali ini ia lebih lama di hutan itu sampai suatu hari ia kembali dan berkata kepada gurunya bahwa ia sudah mampu mendengar dengan baik. Ia mampu mendengar suara daun yang jatuh dari rating. Sayangnya jawaban yang sama ia dapatkan dari gurunya, “Kau belum mampu mendengar, anakku.” Kembalilah si pangeran ke hutan melanjutkan usahanya belajar mendengar.

Ia bertekad untuk tidak gagal kali ini. Ia semakin lama di dalam hutan dan semakin keras berusaha mendengarkan apapun yang terjadi di sekitarnya. Kali ini ia mampu mendengar suara air embun yang jatuh mengenai daun, suara bunga yang mulai merekah, suara dahan yang tumbuh dan lain-lain. Ia kembali dengan keyakinan ia sudah mampu mendengar. Lagi-lagi gurunya menggelengkan kepala dan berkata, “Kau belum mampu mendengar, anakku.”

Selanjutnya sang guru memberikan penjelasan, mengapa ia mengatakan bahwa sang pangeran belum mampu mendengar dengan baik. Sang guru berkata bahwa ada suara-suara yang kadang tidak terdengar dari balik tembok istana. “Suara itu adalah suara keluh kesah dari rakyatmu, suara kesulitan dari hati rakyatmu, suara rintihan, suara perut yang kelaparan dari rakyatmu, mampukan engkau mendengarkan suara itu anakku?” Begitu penjelasan sang guru. pangeran hanya menunduk diam, menyimpan kata-kata itu dalam hatinya. Pulanglah pangeran ke Istana dan menjadi raja menggantikan posisi ayahnya yang sudah tua.

Ia benar-benar menjalankan nasehat gurunya, hasilnya ia menjadi pemimpin yang mampu menyenangkan banyak orang. Itu semua terjadi karena ia benar-benar memfungsikan kedua telinganya untuk lebih banyak mendengar daripada satu mulutnya untuk memerintah. Ia mampu menjadi pendengar yang baik dari suara-suara rakyatnya.

Pemimpin yang mampu mendengar ini yang dicari oleh banyak orang. Di lingkungan kita banyak pemimpin tapi tidak semuanya adalah pemimpin yang mampu menjadi pendengar yang baik. Pemimpin yang ada disekitar kita sekarang adalah pemimpin dengan tipe ingin “didengar” ketimbang mendengar. Banyak kasus yang membuktikan jika pemimpin kita ini memiliki kemampuan mendengar yang rendah. Suara-suara arus bawah tidak mampu ia dengar, ia lebih mementingkan suaranya sendiri dan menjalankannya. Pemimpin semacam ini lambat laun akan ditinggalkan sama sekali oleh rakyat yang dipimpinnya.

Mungkin itulah hikmah mengapa Tuhan memberikan kita dua telinga dan satu mulut, yaitu agar kita lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Dalam konteks yang lebih luas sebagai pemimpin sebuah organisasi, departemen, daerah, negara, kemampuan “mendengar” adalah syarat utama sebagai seorang pemimpin.

Saya pernah menjumpai sekelompok mahasiswa sedang sibuk menentukan pemimpin di antara mereka. Mereka terbentur karena ada seorang dari mereka sangat ngotot untuk menjadi ketua. Sedangkan teman-temannya tidak menginginkannya. Saya mencoba untuk menanyakan apa masalahnya jika ‘dia’ menjadi ketuanya. Jawabannya seragam, dia otoriter, tidak mau mendengarkan pendapat anggota yang lain, tahu sedikit seperti sudah tahu semuanya, dan banyak alasan lain yang muaranya ‘dia’ memiliki kemampuan mendengar yang rendah.

Itulah sebabnya saya menuliskan bahwa pelajaran pertama dan paling utama untuk seorang pemimpin sebelum ia belajar memanajemen adalah pelajaran tentang mendengar. Mendengarkan suara-suara dari bawah yang kadang tidak terdengar dari balik tembok “istana.” Kalau sekiranya semua pemimpin mampu melakukan ini ia akan disukai orang-orang yang dipimpinnya, disegani musuh-musuhnya dan ia akan dimudahkan urusannya.

Semoga saja, banyak yang mampu bercermin dari kisah si pangeran, yang sebelum memangku jabatan sebagai raja ia belajar mendengar terlebih dahulu. Begitu juga setiap diri kita yang ingin menjadi pemimpin, atau sudah menjadi pemimpin tanyakan pada diri kita sudahkah kita memiliki kemampuan mendengar yang baik. Jika belum, tidak ada salahnya jika kita belajar untuk mendengar, dan belajar menjadi pendengar yang baik buat semua orang. Semoga.

Medan 12 November 2006
*) penulis adalah mahasiswa Teknik Industri USU ‘03,
Sek-Jend Senat Mahasiswa Fakultas Teknik USU 2006-2007

Apa yang dilakukan saat menunggu

Apa kira-kira yang sering kita lakukan saat sedang menunggu atau tidak ada pekerjaan? Pernah saya mengadakan semacam survey kecil-kecilan sekedar untuk mengetahui kegiatan teman-teman saat mereka menunggu. Memang jika berdasarkan kaidah statistik, survey yang saya lakukan jauh dari kaidah itu. Mudah-mudahan dapat menjadi sedikit gambaran bagi kita yang mungkin tidak menyadarinya.

Hari itu adalah hari selasa, ada sekitar tigapuluhan orang yang duduk dengan pikiran mereka masing-masing. Ada yang tertidur, sibuk ngobrol dengan teman sebangkunya, ada yang sibuk sendiri dengan game di HP nya, dan ada beberapa kegiatan lain. Sore itu kami sedang menunggu asisten yang akan mengasistensikan hasil pekerjaan kami. Asisten sedang berada di ruangannya. Agak lama kami menunggu, sehingga sebagian besar mahluk yang duduk di ruangan itu bosan menunggu dan mulai mencari cara untuk menghilangkan kebosanannya. Di saat itu muncul ide untuk mengumpulkan jawaban dari teman-teman mengenai kegiatan mereka saat menunggu. Terutama seperti kasus sore itu.

Dari beberapa kuisioner yang saya sebar, ada beberapa jenis jawaban dan hampir seragam. Jawaban yang diberikan sebagian besar adalah mendengarkan musik, ngobrol (baca: ngegosip), sebagian membaca, dan ada yang menuliskan tidur sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan menunggu.

Jawaban sederhana dan spontan itu adalah diri kita sebenarnya. Apakah selama ini kita termasuk orang-orang yang memanfaatkan waktu yang diberikan kepada kita dengan kegiatan bermanfaat atau tidak. Dari beberapa jawaban yang ada di atas, membaca adalah kegiatan yang paling bermanfaat. Kadang kita tidak menyadari bahwa waktu-waktu kita telah dicuri. Pencuri itu sudah mencuri waktu-waktu produktif dalam hidup kita. akhirnya waktu itu berlalu tanpa kegiatan yang berdaya guna bagi diri atau lingkungan kita.

Kegiatan menunggu memang bukan kegiatan produktif dan kesannya membosankan. Namun saat waktu tidak produktif itu kita isi dengan kegiatan produktif, maka waktu itu bernilai produktif pula. Perbedaan yang mendasar dari orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu adalah pada kemampuan memilih mana yang baik untuk dirinya dan menghindari yang buruk untuknya. Kalau selama ini kita tidak mampu memilihkan yang baik untuk diri kita sendiri, apa beda kita dengan orang-orang yang tidak berilmu.
Kegiatan membaca, menulis, atau membicarakan perkara yang bermanfaat dapat menjadi pilihan bagi kita yang sedang bosan menunggu. Pembicaraan sia-sia adalah salah satu pencuri waktu kita. dengan kehidupan kita yang singkat di dunia ini, apa kontribusi positif bagi lingkungan kita. (nov 2006)

Antara Lebah dan Lalat

Kita semua tentu pernah melihat lebah dan juga pernah melihat lalat. Kedua binatang ini memiliki persamaan dan juga memiliki perbedaan. Persamaannya adalah kedua hewan ini memiliki sayap, artinya ia menggunakan sayapnya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sama-sama bertubuh mungil, sama-sama masuk golongan hewan serangga, dan ada beberapa persamaan lain yang akan kita temui di kedua mahluk ini. Perbedaan diantara dua hewan ini juga banyak, satu perbedaan yang mendasar di antara keduanya adalah kontribusi mereka kepada lingkungannya.

Kita semua tahu bahwa lebah adalah hewan yang mengambil sari bunga untuk dijadikan madu. Artinya yang diambil dan diolah oleh lebah adalah bahan yang baik. Kemudian lebah juga memakan madu, artinya apa yang ia makan adalah sesuatu yang baik pula. Dan yang mereka keluarkan adalah madu untuk manusia, yang kita ketahui bersama, madu adalah obat dari banyak penyakit. Jadi, lebah adalah hewan yang memakan yang baik, mengumpulkan sesuatu yang baik, dan mengeluarkan yang baik.selain itu, di mana ia hinggap tidak ada dahan yang patah. Artinya hidup lebah penuh manfaat bagi lingkungannya. Banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya lebah.

Lain halnya dengan lalat. Seperti kita ketahui bersama, lalat adalah hewan yang banyak tinggal atau hidup di tempat yang kotor. Ia makan, hinggap dan mengumpulkan yang kotor. Apa yang keluar dari dirinya adalah penyakit. Bukan berarti tidak ada manfaat dari lalat, kita tidak melihat sisi itu sekarang. Kita hanya melihat dari sisi masukan dan keluaran dari hewan lebah dan lalat. Itulah lalat, apa yang ia makan adalah bahan yang kotor, ia senang tinggal di tempat yang kotor, dan kebanyakan ia membawa banyak penyakit dan menyebarkan penyakit itu ke lingkungan lain. Kadang ia menjadi masalah di satu tempat.

Itulah kedua hewan lebah dan lalat yang Allah berikan sebagai pelajaran untuk kita manusia. Kedua hewan ini sudah memberikan bukti bahwa apa yang kita makan akan di mana kita tinggal, apa yang kita kumpulkan. Kesemua itu akan membentuk diri kita sebenarnya. Apa yang keluar dari diri kita adalah cerminan dari apa yang kita makan dan lingkungan kita. Kadang juga kita sering tidak sadar kalau kita sudah menjerumuskan diri kita menjadi seperti lalat. Hidup di tempat yang kotor, makan-makanan yang kotor (haram), sehingga buah pikiran atau tindakan kita akan kotor pula..

Perlu ada koreksi diri kita masing-masing. Sudahkah kita menjadikan diri kita seperti lebah. Atau kita justru lebih mirip lalat. Itu semua kita yang menentukan, bukan siapa-siapa. (16-17 nov 2006, pukul 23.38-00.03)

Kepemimpinan

Ada 6 kata kunci bagi pemimpin...

apa itu...?

pertama

seorang pemimpin itu harus Loyal to the principle, dia harus loyal dengan prinsip-prinsip kebenaran yang hakiki, loyal pada nilai2 moral universal, jujur, dan lain lain

kedua

pemimpin itu juga harus Enthusiasm, artinya antusias.. ini harga mutlak, pribadi yang antusias adalah pribadi yang selalu bersemangant, dan yakin lah bahwa ketika kita semangat, atau antusias, maka lingkungan kita akan terpengaruh menjadi bersemangat pula... sebagai pemimpin anda harus menjadi pribadi pertama yang antusias.

ketiga

seorang pemimpin itu harus Accomodate and accompany... artinya seorang pemimpin itu bukan hanya memberi perintah ini dan itu, tapi lebih dari itu, mereka harus mengakomodasi keluhan, pertanyaan, sanggahan dan apapun masukan dari bawahan, dan kedua ia juga harus menemani perkembangan bawahannya menjadi seperti dirinya... paham?

keempat

pemimpin yang baik adalah mereka yang Developing others, artinya mereka mengembangkan orang lain, tidak hanya dirinya... ia sadar sekali bahwa ia tak selamanya hidup, dan harus ada orang lain yang melanjutkan perjuangannya... oleh sebab itu ia harus membangun pemimpin-pemimpin baru untuk melanjutkan perjuangannya.

kelima

Empowering, pemimpin harus terus memberdayakan orang lain terutama bawahannya... ia hidup bukan untuk dirinya sendiri, tidak ada ketakutan dalam hatinya bahwa suatu saat aku akan "disalip" oleh bawahannya. malahan ia merasa bangga karena telah mampu melahirkan pemimpin baru... seperti dirinya

keenam

pemimpin harus memiliki responsibility, tanggung jawab, semua yang terjadi akibat pekerjaannya ialah orang yang pertama menjadi pribadi yang bertanggung jawab.. ia tidak menyalahkan orang lain sebagai "kambing hitam" tapi ia langsung instrokpeksi diri.. apa yang salah..?

keenam prinsip ini berasal dari keenam huruf di kata2 LEADER
L : Loyal to the prinsiple
E : Enthusiasm
A : Accomodate, accompany
D : Developing others
E : Empowering
R : Responsibility

Salam Hangat
Bag Kinantan, ST

Maaf

dah lama sekali tidak menulis

ada beberapa kegiatan yang dapat ku ambil pelajaran beberapa hari ini antara lain:

1. aku keluar dari tempat kerjaku yang lama, karena
- sistem manajemen yang amburadul... aku sebagai orang bawahan yang selalu jadi sasaran tembak...memang perusahaan baru, namun semua perusahaan dimulai dari dasar. sayangnya sistem manajemen tidak diperhatikan "aku Capek". ya.. perusahaan itu ditutup juga. ini pelajaran buat kita semua... siapapun kita di perusahaan atau perorangan... perhatikan MANAJEMEN adalah kata kunci "harga mati"

2. saat aku memimpin Training di Politeknik Negeri Medan
- banyak pemateri yang sudah "confirm" di hari H gak datang, saat di konfirmasi ulang, jawabnya sangat enteng ..."MAAF SAYA LUPA" wah... betul2 gak dipake pikirannya saat mengatakan itu.... jadinya aku tampil sendiri... Show Must Go on...

- pelajaran kedua kita harus siap di semua kondisi...

Menikmati Demokrasi (Anis Matta)

“yang berlaku di sini bukan hukum benar salah, tapi hukum legalitas, sesuatu itu harus legal walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tetapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi karena itu, masyarakat demokrasi cenderung bersifat eufemistis, longgar dan tidak mengikat.” (hal, 33)

Ini adalah sebagian dari isi tulisan “menikmati demokrasi” yang juga merupakan judul kumpulan tulisan dari M. Anis Matta. Ketika membaca karya-karya anis matta, kita akan diberikan sebuah sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Namun tetap memiliki “misi” yang jelas dalam “menggiring” pikiran masyarakat menuju pemikiran yang “islami”.

Menikmati demokrasi adalah salah satu dari banyak kumpulan tulisan yang telah diterbitkan. Memang, buku-buku anis matta hanya merupakan kumpulan tulisan di media massa. Disamping tema-tema lain yang sangat spesifik.

Dalam buku ini, mencoba menjelaskan bagaimana kita (baca: agen dakwah) membaca situasi, kemudian memanfaatkan situasi guna memenangkan dakwah itu sendiri. Secara runut dan terperinci, anis matta menuliskan strategi-strategi yang dapat kita lakukan untuk memanfaatkan demokrasi (pada awalnya) guna mencapai kemenangan dakwah (pada akhirnya).

Strategi-strategi itu tertuang seperti pada paragraf, “Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama, menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan. Para mafia narkoba harus mencuci uang agar bias menjadi hak milik yang legal.” (hal 33)

Selanjutnya, “Maka, penetrasi kekuasaan dalam Negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan begini. Pertama, menangkanlah wacana public agar opini public berpihak kepada kita. Inilah kemenangan pertama yang mengawali kemenangan-kemenangan selanjutnya. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draft hukum untuk dimenangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislative. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.” (hal 33)

Anis matta mencoba membaca realitas kemudian menyusunnya dalam kerangka strategi untuk memenangkan dakwah. “Ada kebebasan yang kita nikmati bersama, tapi ada cara tersendiri untuk menghancurkan kemungkaran dengan penetrasi kekuasaan Negara. Anggaplah ini sebagai seni yang harus dikuasai para politisi dakwah sekarang.” (hal 34)

Medan Keseharian part 4

Azan ashar baru saja berkumandang. Ku langkahkan kaki menuju Masjid Al Ghufron yang berada dekat dengan tempat tinggalku di Gg Sipirok ini. Hari ini cerah, namun tidak terlalu panas menggigit seperti biasanya. Karena memang saat ini sedang musim hujan. Kulihat beberapa orang mulai berdatangan ke masjid ini.

Mendekati masjid ku lihat Pak Imam, maksudku imam tetap Masjid Al Ghufron, namanya A. Batubara. Gurat di wajah beliau menunjukkan bahwa beliau memang sudah tua. Mungkin sekitar 80 tahun-an, namun semangatnya jauh melebihi kami-kami yang muda ini. Tidak jarang beliau menjadi orang yang pertama sampai di Masjid dan beliau pula yang mengumandangkan azan.

Dari jauh aku dapat mengenali beliau dari cara berjalannya yang khas orang tua. Pelan dan hati-hati. Namun saat beliau hendak memasuki areal masjid, dari belakang terdengar suara klakson yang mengejutkan. Tidak sekali bunyinya namun dua kali dan panjang. Aku yang berada jauh dari mobil itu saja terkejut, apalagi pak imam yang berada 1,5 meter di depannya.

Dalam hatiku, “Luar biasa mobil ini. Gak tau sopan santun. Dianggapnya jalan ini punya nenek moyangnya”. Aku berhenti dan kucoba mengenali siapa pengemudinya. Kulihat ada dua orang wanita yang pakaian seksi sedang tertawa renyah di dalam mobil sedan abu-abu itu. Tanpa rasa bersalah telah mengejutkan orang tua yang berjalan di tepi jalan. Padahal kalau dia mau lewat, badan jalan masih sangat cukup luas untuk dilewati. Namun ia memaksakan diri untuk membunyikan klaksonnya. Sebenarnya tidak hanya pak imam yang terkejut, aku dan beberapa orang di masjid juga terkejut dan langsung mengarahkan pandangan ke mobil sedan abu-abu itu.

Dalam hatiku kembali berceloteh, “Seperti ini potret sebagian anak muda Indonesia yang mulai kehilangan nilai-nilai etika ketimuran yang amat menghargai orang lain, bangsa ini yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan sangat menghargai orang lain, saat ini semua itu hanya menjadi tumpukan kata-kata dalam buku-buku bahan ajar di sekolah-sekolah untuk melengkapi kewajiban 2 jam pelajaran moral atau saat ini namanya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan se tiap minggu.”

Medan, 8 Januari 2008

Medan Keseharian part 3

Aku heran!

Itulah yang muncul dipikiranku. Mengapa pedagang kaki lima yang biasa mangkal di depan kampus USU (jln Dr Mansur, antara Pintu 3 hingga pintu 4), kok mangkal di jalan Dr Hamzah (depan pintu 3, jalan ke Masjid Dakwah Kampus USU). Saat ku susuri jalan Dr Mansur, tepatnya di depan Fakultas Kedokteran, ada satu mobil Satpol PP (polisi pamong praja).

Ooo… ini dia penyebabnya, ada penertiban dari aparat pemerintah kota. Sehingga pedagang kaki lima berusaha menghindari penggusuran. Alasannya “TIDAK ADA IZIN” atau “MENGGANGGU KETERTIBAN KOTA” atau “TIDAK SESUAI DENGAN RENCANA TATA RUANG KOTA” atau alasan lainnya. Namun, razia hari ini tidak begitu efektif, karena selepas Satpol PP meninggalkan Jl Dr. Mansur, pedagang kaki lima akan kembali mangkal ke posnya
Sungguh ironis memang, ditengah sulitnya ekonomi bangsa saat ini, ditengah meningkatnya PHK, meningkatnya pengangguran, ditengah tidak jelasnya program pemerintah terkait pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang dinamakan “pedagang kaki lima” harus kesulitan untuk mencari lahan berjualan.

Dengan alasan tata ruang kota tadi, pemerintah memiliki kebijakan merelokasi mereka yang bernama “pedagang kaki lima” ke tempat baru yang bernama pasar. Karena lokasi yang diberikan pemerintah itu tidak “menarik” dalam artian jauh dari “pasar” mereka selama ini, para “pedagang kaki lima” menolak untuk menerima relokasi dari pemerintah itu. Jadilah pemerintah dan pedagang kaki lima main kucing-kucingan.
Seperti pedagang kaki lima yang ada di tepi jalan lingkar (ring road) luar kota Medan misalnya. Saat ini para pedagang kaki lima begitu menjamur di tepi jalan lingkar luar tersebut.

Sempat seorang kawan berkata, “Kalo mau melarang pedagang kaki lima berjualan di tepi jalan lingkar ini, sekarang lah saatnya.” (waktu itu, para pedagang kaki lima baru saja beroperasi)

“Kenapa, bang?” aku bertanya.
“Mumpung mereka belum dapat makan dari sini, nanti kalo mereka sudah dapat makan dari sini, anak-anaknya sekolah dari sini, tentunya akan sangat sulit untuk merelokasi mereka ke tempat baru. Jadi saat inilah waktu yang tepat untuk memindahkan mereka.” Jawab kawan panjang lebar.

Aku pikir ada benarnya juga. Tapi aku tidak tahu, sepertinya perang antara pedagang kaki lima dan pemerintah akan terus berlanjut. Selama pemerintah tidak memiliki program yang jelas mengenai nasib mereka. Mereka akan siap direlokasi jika pemerintah dapat menjamin bahwa lokasi yang diberikan mampu menjamin kelangsungan usaha mereka. Semoga saja. (Medan, 09-01-09, 23.36)

Medan Keseharian part 2

Selepas magrib aku berangkat ke tempat temanku. Sebuah daerah di tenggara Medan yang biasa disebut sebagai “menteng” atau Medan Tenggara. Biasanya, untuk mencapai daerah menteng ini, diperlukan waktu sekitar 30-40 menit dari kampus. Malam ini aku memperkirakan, kalau aku berangkat habis magrib (sekitar pukul 19.00) maka paling lambat aku akan sampai pukul 19.45 (azan isya). Aku ada janji selepas isya akan memberikan sedikit taujih untuk remaja masjid di dekat kediaman temanku itu.

Angkot yang menuju menteng dari kampus USU, hanya mitra 63. Selain itu tidak ada. Tak lama menunggu lewatlah si 63, aku naik. Sayangnya, laju kendaraan ini sangat lambat. Lambat sekali. Kuperhitungkan bahwa aku tidak akan mencapai Menteng tepat waktu. Luarbiasa, angkot ini benar-benar lambat. Tidak seperti angkot lain di Medan yang seperti tidak kenal lelah menekan pedal gas. Namun, yang satu ini benar-benar lambat. Aku terus menggerutu di dalam hati, “Habis kita terlambat.”

Kulihat supir di balik kemudi, sudah tua. Aku ber-positive thinking, mungkin beliau sudah rabun jadi pelan-pelan. Saat ku lihat jalan yang terang oleh penerangan jalan, beliau tetap keukeh untuk tetap lambat. Aku makin gondok. Kredibilitasku bakal rusak gara-gara angkot lambat ini.

Sambil terus memperhatikan jalan, aku teringat sebuah cerita dari temanku Ihsan, “Di antara angkot-angkot 63, ada yang luarbiasa lambatnya. Aku aja pernah terlambat kuliah gara-gara angkot itu.” Cerita ihsan waktu itu.

“Aku rela nunggu angkot 63 yang laen kalo si ‘lambat’ itu lewat.” Lanjut Ihsan.
Aku hanya tersenyum mengingat itu semua, mungkin ini angkot yang diceritakan Ihsan. Ah…naas aku hari ini.

Lebih menyakitkan lagi, perlajalanan yang tersisa 1/3 lagi, supir angkot lambat ini memintaku untuk turun. Karena sudah malam dan aku penumpang terakhir yang masih tersisa. Alasan ia mau pulang. “Naik motor yang di belakang aja.” Begitu kata supir lambat itu. Lengkap penderitaanku hari ini. Aku hanya mengelus dada, sabar mas… sabar. Mungkin ini sedikit ujian hari ini. Seperti ceritaku sebelumnya, supir angkot memang tak pernah mendapatkan kuliah tentang, kepuasan pelanggan, costumer satisfaction, pemasaran jasa, apalagi kuliah tentang menjaga loyalitas pelanggan.
Aku naik angkot yang lain, sementara azan sudah mulai berkumandang. Aku berharap agar aku dapat sampai di masjid tepat sebelum sholat jamaah berakhir. Sayangnya harapanku tak terjadi, aku terlambat mendapatkan sholat berjamaah, tapi aku tidak terlambat untuk hadir di majelis.

Pesan moralnya, “laen kali jangan naek angkot, naek motor aja.”
(Medan, 09-01-09, 23.18 WIB)

Medan Keseharian part 1

Matahari baru saja meninggalkan sisi barat bumi. Tersisa hanya cahaya jingga di cakrawala. Aku berdiri di sini, tepi jalan Iskandar Muda, Medan. Aku menunggu sebuah angkot bernomor “67” yang akan membawaku kembali ke rumah. Selain angkot 67, ada juga angkot 36, hanya saja angkot ini agak lama munculnya.

Di kejauhan terlihat si 67 mendekat. Kulambaikan tangan kanan, mengapa tangan kanan? Sebuah pengalaman di padang, saat ku menyetop angkot dengan tangan kiri, angkot tidak mau berhenti. Awalnya aku tidak tahu, sampai akhirnya ada satu angkot yang berhenti dan supirnya berkata, “lain kali pakai tangan kanan.” Ternyata masih ada budaya baik yang masih di pertahankan. Itulah sebabnya hingga saat ini ku usahakan untuk menghormati supir angkot dengan melambaikan tangan kanan saat aku memerlukan jasanya. Walau aku tahu bahwa si supir tidak akan peduli dengan tangan apa kita menyetopnya. Tapi, aku berkeyakinan bahwa setiap orang berhak untuk dihormati. Salah satunya supir angkot ini.

“Lapan, anam, lapan anam” terdengar supir angkot memerintahkan penumpang yang ada di belakang untuk bergesr, memberi ruang bagi penumpang yang baru masuk ini.
“Lapan, anam” adalah singkatan dari delapan dan enam. Maksudnya adalah si supir meminta penumpangnya untuk mengisi bangku penumpang dengan jumlah 8 orang untuk sisi sebelah kanan dan enam orang untuk sisi sebelah kiri. Jumlah itu sepertinya dipaksakan. Jumlah yang ideal adalah tujuh orang untuk sisi kanan dan lima orang untuk sisi sebelah kiri. Demi yang namanya “setoran” kadang supir angkot di Medan tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi penumpangnya. Mungkin dalam benaknya, “Kalau tak suka turun, banyak lagi yang lain.”

Jika “sewa” banyak, biasanya supir-supir angkot ini agak sedikit jual mahal. Kadang mereka lupa bahwa tak selama sewa banyak. Memang mereka tidak pernah mendapatkan kuliah atau pelatihan tentang bagaimana memberikan “pelayanan terbaik” kepada pelanggannya. Pelayanan terbaik ini diberikan agar pelanggan tidak lari ke pesaing kita. Ya… mereka tidak peduli dengan yang namanya pelayanan. Toh masyarakat tidak memiliki pilihan lain jika mereka tidak puas dengan pelayanannya.

Kondisi di Medan memang agak sedikit berbeda dengan apa yang pernah kualami di Padang atau di Lampung. Perbedaan itu adalah soal pelayanan tadi. Walau tidak memberikan pelayanan terbaik, angkot-angkot di Padang atau Lampung sepertinya sadar dengan yang namanya pelayanan. Anda akan mendapati angkot dengan perangkat sound system yang “supergila” dengan aksesoris mentereng di dalam dan diluar. Kadang tidak jarang kita mendapati angkot yang dimodifikasi seperti mobil sport.

“Lapan, anam, lapan anam” kembali supir berteriak dari balik kemudi, membuyarkan lamunanku. Seorang perempuan dengan tubuh agak besar, duduk tepat disebelahku. Sebenarnya akupun sudah kesempitan, karena jumlah orang di sisi kiri baru 5 orang, maka si supir tak mau tahu dengan penderitaanku. Apalagi si perempuan main banting pantat aja, tanpa peduli dengan luas daerah yang akan di dudukinya. Akibatnya sebagian tubuhku terhimpit dan dengan sangat terpaksa aku menggeser kakiku.
Kembali lamunanku terbang ke Padang dan Lampung. Tentang angkot yang mentereng dengan suara musik yang menghentak, kadang agak berlebihan. Dengan penampilan yang eksotis. Berbeda dengan angkot di Medan yang sepertinya sudah tak layak jalan. Tak pernah di “mandi”kan, gak sempat mungkin. Tapi entahlah, toh masyarakat tak punya pilihan lain.

Lampu-lampu jalan sudah mulai hidup. Malam menjelang, angkot memasuki Jalan Dr Mansur Kampus USU, artinya aku akan turun dan akan segera berakhir penderitaan di dalam angkot yang tidak mengenal yang namanya “kepuasan pelanggan”.
“Cukup deh, lain kali naek sepeda aja.” Gerutuku dalam hati sambil membayar ongkos. (Medan, 7 Januari 2009)

WIRAUSAHA

Ini mungkin tema paling hangat saat ini. dimana-mana akan sering kita jumpai sebuah isu baru yaitu tentang kegiatan wirausaha. apalagi dengan krisis global yang berimbas dengan meningkatnya angka PHK di negeri ini. ternyata wirausaha adalah sebuah jawaban yang dapat membantu kondisi saat ini.

beberapa waktu yang lalu, di kampusku diadakan sebuah kuliah umum yang judulnya (kalo gak salah tulis)

"CARI DUIT ITU MUDAH... TAPI DUIT YANG KECIL-KECIL"

kuliah ini di sampaikan oleh seorang pengusaha muda (alumni kampus kami juga) yang baru saja mendapat penghargaan sebagai pengusaha muda terbaik untuk sumatera utara.

sepertinya kita harus sudah mulai mengubah paradigma kita tentang "pekerjaan". Pekerjaan selama ini di asosiasikan dengan pergi pagi pulang petang ke sebuah bangunan yang namanya "KANTOR" baik itu milik pemeritah atau swasta, kemudian menerima gaji setiap bulan dari kantor tersebut. Menjadi paradigma "WIRAUSAHA" agar kita dapat meningkatkan kualitas hidup kita sendiri.

Negara yang maju adalah negara yang 2 % dari seluruh penduduknya adalah PENGUSAHA. dan sedihnya di INdonesia, penduduknya baru 0,18 % yang berprofesi sebagai PENGUSAHA.

satu lagi mindset berpikir kita yang harus diubah yaitu untuk menjadi pengusaha tidak harus dengan sesuatu usaha yang BESAR, namun kita dapat memulainya dari yang kecil. seperti judul kuliah tadi, "cari duit gampang, tapi duit yang kecil-kecil" artinya mengumpulkan dari hasil yang kecil-kecil.

satu contoh konkrit, ada seorang teman, satu kampus, masih senior saya juga. beliau sudah memulai untuk mengumpulkan uang dari yang kecil-kecil. beliau menjadi PENGUSAHA KERUPUK. kita mungkin memandangnya sebagai sesuatu yang rendah (karena memang itu mindset berpikir kebanyakan kita),

"masa' seorang sarjana kerjanya cuma jualan kerupuk...??"

namun, aku SALUT kepada beliau... karena beliau sudah memulai untuk tidak menjadi BEBAN bagi masyarakat dan pemerintah. ya... kumpulkan duit sedikit-sedikit dari yang kecil-kecil....

salam luarbiasa

Bag Kinantan, ST

PHK

secara psikologis ternyata sulit menerima keadaan sebagai seorang "pengangguran". Hal tersebut telah ku lihat dari beberapa teman yang telah selesai dari dunia pendidikan (baca: perguruan tinggi) dan belum bekerja. kesulitan itu hadir karena banyak tuntutan yang datang dari banyak pihak. pertama, dari keluarga yang mengharapkan kita dapat "bekerja" apa gunanya titel "sarjana" kalau hanya jadi pengangguran. kedua juga tekanan dari masyarakat yang melihat dengan penuh cibiran, masa' sarjana kerjanya seperti itu.

satu hal lagi yang agak menohok adalah adanya sebuah mindset berpikir masyarakat kita yang "salah" tentang pekerjaan itu sendiri. di dalam mindset berpikir masyarakat secara umum, yang dikatakan bekerja adalah mereka-mereka yang menjadi pegawai baik instansi pemerintah atau swasta. mereka yang pergi pagi dan pulang petang dari kantor. itulah yang menurut masyarakat sebagai pekerjaan. sedangkan bagi mereka yang bekerja sebagai "pengusaha" atau wiraswasta masih dianggap sebagai pribadi "pengangguran".

dengan krisis global saat ini memaksa perusahaan-perusahaan swasta mengurangi beban dengan mengurangi jumlah karyawannya. inilah yang terjadi saat ini dimana ada ribuan pengangguran yang muncul. belum lagi "pengangguran baru" (baca; yang baru sarjana) yang hadir terus menerus.

aku baru belajar bagaimana sulitnya menerima kenyataan bahwa kita telah menjadi seorang pengangguran. baik pengangguran dalam definisi sesungguhnya atau pengangguran dalam definisi masyarakat.

namun, satuhal yang aku syukuri adalah mindset berpikir orang tuaku, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. beliau tidak pernah mempermasalahkan apapun pekerjaanku. bagi mereka, yang penting adalah aku tidak menjadi beban masyarakat dan orang tua.

he he

Lampung Medan

Memang untuk urusan ajal, tidak ada satupun manusia yang tahu kapan ia datang. Beberapa hari yang lalu, Hendra Kesuma, seorang teman lama di kampus, salah seorang staf saat masih di KAMMI, bertanya tentang seorang teman, Ahmad Rifai Srg (fai) , “apa kabar beliau?” “aku tidak tahu.” Itu jawabku.

Sehari setelah pembicaraan dengan hendra, datang SMS yang mengabarkan bahwa fai telah menghadap yang Maha Kuasa. Aku lemas. Beliau kecelakaan di Sei Rampah, dalam perjalanan menuju rumahnya di ser belawan, kab Simalungun.

Selain itu, ada banyak kecelakaan yang ku temui dalam perjalan lampung ke medan. Aku heran mengapa banyak sekali kecelakaan yang terjadi. Memang jika sudah datang takdirnya untuk menghadap yang kuasa, maka tidak ada yang akan mampu mencegahnya atau menundanya. Ya… ia akan datang semaunya. Ia tidak peduli kita saat itu sedang kaya, miskin, muda, tua, anak-anak, sedang berbuat amal, atau sedang bermaksiat. Ia datang tanpa berita, tanpa pandang bulu. Semoga kita diberi kesudahan yang baik.

Medan Lampung

Aku pulang, tanggal 16 desember 2008. Ada urusan penting di rumah. Sebagai anak tertua aku harus hadir… pukul 19.00 aku berangkat dari medan, menumpang bus pelangi. Sampai di rumah hari keduanya tepatnya tanggal 18 desember 2008. Capek.

Di jalan, tidak banyak yang aku catat. Masih seperti catatan yang dahulu, bahwa dalam perjalanan orang-orang jarang yang memperhatikan ibadahnya, terutama sholatnya. Dari 40 orang penumpang, yang peduli dengan ibadah wajib ini paling-paling hanya 5-10 orang dan itupun di dominasi sama orang-orang tua. Kedua, orang-orang ini juga kurang memperhatikan kebersihan tubuh dan “pakaiannya”. Ya…mereka tidak peduli dengan kebersihan terutama pakaiannya.

Di rumah, banyak yang harus ku kerjakan. Dan satuhal yang selalu ku kerjakan adalah menemani bapakku. Bapak sudah tua pendengarannya sudah mulai rusak. Sudah lama sih. Karena pendengarannya yang sudah mulai rusak itu beliau kesulitan mengikuti pembicaraan orang-orang. Aku sedih. Itulah sebabnya aku selalu sempatkan untuk mendengarkan cerita beliau hingga larut malam. Bapakku adalah orang yang senang bercerita, sejak aku kecil beliau selalu menceritakan banyak hal padaku. Dan kali ini cerita itu ingin kembali ku dengarkan dari beliau.

Mama, selalu ada inspirasi dari wanita perkasa ini. Walau berbagai kesulitan hidup datang menghimpitnya, beliau selalu membisikkan kepadaku kata-kata kesabaran dan ketegaran. Aku selalu kesulitan menuliskan kisah tentang beliau, karena penaku, kata-kataku selalu tidak mampu menggambarkannya. Dan kisah ini takkan habis ku ceritakan dalam lebaran kertas sepanjang hidupku. Terimakasih Allah telah menakdirkan aku lahir dari rahimnya.

Adikku, Sari, sudah menjalani kehidupan barunya, kunto semakin bertambah besar, sundari juga, mereka perlu teladan.

Tetanggaku Sisca, juga menikah dengan teman sekampusnya. Heri namanya. Kemarin pestanya besar, kudengar sampai mengundang 1200 orang.

Sepanjang aku di rumah, pekerjaanku adalah “tukang ojek” antar jemput mama, dari rumah ke kampus, dan dari kampus ke rumah, termasuk jika ada keperluan ke pasar, atau ke daerah lain. Selain itu, menemani bapakku dan mendengarkan beliau bercerita tentang perjalanan hidupnya yang panjang.
30 desember 2008 aku ke medan