... (2)

Malam itu, adalah malam menjelang acara pernikahan adikku. Aku, harus pulang dari pengembaraanku di negeri orang. Harus, karena tanpaku acara tidak akan berlangsung.


Di depan rumah, sudah dipasang 'tenda biru' sederhana, ya sederhana sekali. ku lihat bapak, duduk sendiri memandangi halaman yang tak terlalu luas dengan tatapan kosong, aku tak tau apa yang ada dipikirannya. Satu yang ku tahu, bahwa beliau sangat bahagia. Ah, ... sepertinya beliau tidak pernah bersedih, hanya bahagia yang selalu terpancar dari wajahnya.


Ku ambil kursi dan mulai duduk di dekatnya. Aku tidak berkata-kata, melihatku duduk didekatnya, bapak mulai bercerita. Ya, tanpa ku minta, bapak menceritakan banyak hal, tentang masalalu, tentang sejarah, tentang dia, tentang keluarga, tentang kebanggaannya kepada kami, tentang orang-orang yang bertemu dengannya, tentang..., tentang semuanya... Sepertinya beliau tak pernah kehabisan bahan cerita.


Dan seperti tahun-tahun yang lalu, jika aku pulang, atau adikku pulang, kami selalu menyempatkan diri untuk duduk bersama bapak, menemaninya di malam hari yang sejuk, di teras rumah, ditemani nyamuk yang berhenti bernyanyi di telinga, hanya untuk mendengarkan beliau bercerita. Kegiatan yang tidak pernah kami tinggalkan setiap kami pulang ke rumah.


Dan malam ini, aku duduk di depannya, tanpa berkata, beliau memulai cerita... aku hanya diam, sesekali tersenyum, mengangguk, memasang wajah senang dan tanpa komentar, sesekali aku bertanya untuk memperjelas cerita. dan waktupun terus bergulir, menelan malam, hingga semakin pekat, saatnya untuk tidur. Sedangkan bapak hanya berkata, "udah tidur sana."


Tidak harta, tidak pangkat yang beliau tinggalkan untuk kami, tapi pelajaran tentang kesederhanaan, pelajaran tentang menerima hidup ini dengan ikhlas, pelajaran tentang bagaimana untuk selalu optimis, berdoa di malam yang gelap, menyelipkan nama-nama orang yang kita cintai dalam setiap doa kita, pantang menyerah, terus bekerja menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, walau begitu banyak hal yang mencoba menghalangi.


"Bapak doakan ibek jadi asisten" itu kata beliau saat aku pulang suatu kali

"Ya alhamdulillah... sekarang ibek udah jadi asisten pak, koordinator malah..." jawabku, beliau tidak menjawab, hanya senyum yang merekah dan mata yang berkaca-kaca menanggapi pernyataanku.


Malam ini, kembali ku kenang beliau, merindukan saat-saat duduk berdua di teras rumah, malam-malam, ditemani sejuknya udara malam, nyamuk yang tak berhenti bernyanyi, mendengarkan cerita-cerita beliau tentang hidup, cerita-cerita yang telah menjadikanku seperti sekarang ini.

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat