Anis Matta: Mencari Pahlawan Indonesia


Risau, mungkin itu yang melatarbelakangi lahirnya tulisan-tulisan dengan judul di atas. Risau karena bangsa ini mengalami yang disebut kelangkaan jumlah pahlawan, apakah karena rahim-rahim wanita kini telah menjadi pelit untuk melahirkan pahlawan-pahlawan di negeri ini?

Bagi kita yang senantiasa mengikuti jalannya serial kepahlawanan yang ditulis oleh Anis Matta untuk Tarbawi, kita akan dapat menemukan sebuah panduan atau manual book untuk mencari pahlawan di negeri ini. Pikiran kita akan digiring hingga akhirnya kita dapat berkata, ”aha!”. Kita menemukan apa yang menjadi pertanyaan kita di awal ketika membaca buku ini.

Buku ini di awali dari sebuah pertanyaan, Siapa Pahlawan? Pahlawan bukanlah orang suci yang diturunkan dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus tercatat dalam buku sejarah atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang disekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabung jiwa dalam masa yang lama… (Pengantar Anis Matta)

Dari tesis ini kita akan dapat mengatakan bahwa siapa saja akan dapat menjadi pahlawan termasuk kita yang membawa buku ini. Lalu, dari mana mereka datang? Anis Matta melanjutkan, Mereka muncul di saat-saat sulit. Mereka datang untuk memikul beban yang tidak dipikul manusia di zamannya. Mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. (Naluri Kepahlawanan, Hal 4).

Para pahlawan menyadari betul bahwa Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Allah untuk memancing “naluri kepahlawan”- nya muncul. Bagi mereka yang tidak memiliki naluri ini, tantangan ini dianggap beban berat, mereka akan menghindari dan menerima dengan sukarela posisi kehidupan yang tidak terhormat. (Naluri Kepahlawanan, Hal 4).

Dalam buku ini, Anis Matta juga memberikan semua perangkat yang diperlukan untuk menjadi pahlawan, apa saja akhirnya yang mendukung naluri kepahlawanan, karena naluri saja tidak cukup untuk menjadikan kita pahlawan. Anis Matta mengatakan, Jika Naluri Kepahlawanan adalah akar pohon kepahlawanan, maka Keberanian adalah batang yang menegakkannya. Tidak ada Keberanian yang sempurna tanpa Kesabaran, karena kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya keberanian itu akan bertahan dalam diri seseorang. Dan Pengorbanan adalah bahan bakar dari ketiga hal di atas, Naluri Kepahlawanan, Keberanian dan Kesabaran…

Lalu, apa lagi stimulus yang diperlukan untuk menjadikan diri kita pahlawan, jawabannya adalah kebaikan. Mengapa? Kebaikan adalah medan kompetisi bagi para pahlawan yang akan mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Dengarkan apa yang ada dalam pikiran para pahlawan, Setiap kali mereka menyelesaikan satu unit amal, dalam tempo yang ringkas dan cepat, dengan kualitas maksimum, dan dengan manfaat sosial sebesar-besarnya, barulah mereka dapat menikmati rentang waktu itu. Kebahagian mereka terletak pada selesainya unit-unit amal shalih yang mereka kerjakan dengan cara yang sempurna.

Langkah-langkah untuk menjadi pahlawan adalah Pertama adalah optimisme, optimisme adalah titik tengah realismen dan idealisme. Optimisme mengajarkan bahwa kita harus idealis dalam menjalani kehidupan ini, namun kita juga harus sadar bahwa kita hidup di dalam dunia yang real (nyata) yang terkadang jauh dari nilai-nilai ideal.

Kedua, Mengambil Momentum, Seseorang tidak menjadi pahlawan karena melakukan pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya, kepahlawanan memiliki momentumnya. Yang perlu kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan. Yaitu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya dan kemudian mengkristalisasikannya. Dengan ini kita memperluas peluang sejarah atau mengantar kita ke pintu sejarah.

Ketiga, Menjaga Kegembiraan Jiwa, untuk terus mampu berjalan jiwa ini perlu dijaga agar tetap dalam kondisi gembira. Kegembiraan adalah sumber energi bagi jiwa.

Keempat, Terus Menggali Keunikan Diri, Sejarah hanya mencatat karya-karya yang berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali untuk karya di bidang sama dan memiliki kualitas yang tidak berbeda. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang mampu menanggungnya. Ancamannya adalah isolasi, keterasingan dan akhirnya adalah kesepian. Jika engkau bersedia menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama : kelak mereka akan merasa kehilangan.

Kelima, terus bergerak Menuju Kesempurnaan, kesempurnaan adalah obsesi seorang pahlawan. Bergerak menuju sempurna adalah bergerak menuju batas maksimum, “Bagaimana mengetahui batas maksimum itu…?” Batasan itu bersifat psikologis, yaitu semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al Qur’an disebut sebagai “menjelang putus asa”.

Keenam, Siap Dengan Kegagalan, pertanyaannya Bagaimana mereka mampu melampaui kegagalan-kegagalannya dan merengkuh takdirnya sebagai pahlawan…? Jawabnya adalah, Mereka memiliki mimpi yang tidak pernah selesai, mereka memiliki semangat pembelajaran yang konstan, dan kepercayaan terhadap waktu, mereka menyadari bahwa segala sesuatu memiliki waktunya.

Ketujuh, Kekuatan Imajinasi.

Di akhir buku ini Anis Matta mengatakan bahwa jangan pernah menanti kedatangan mereka atau menggodanya untuk datang ke sini. Mereka tidak akan pernah datang. Mereka bahkan sudah ada di sini. Mereka lahir dan besar di sini, di negeri ini. Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka; dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau negeri ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah. (hal. 228)

Escape From Huang Chi (Film)


Ketika sebuah pekerjaan di landasi oleh perasaan cinta, maka pekerjaan itu akan terasa indah. Walaupun, di dalam perjalanannya kita akan menghadapi berbagai halangan dan rintangan.

Cinta adalah sebuah bahasa univesal. Banyak sekali sekat-sekat budaya yang luruh saat bahasa cinta mulai berbicara.


Berangkat dari sebuah kisah nyata di masa perang dunia, saat Jepang yang kala itu mengekspansi China daratan. Seorang jurnalis dari Eropa masuk ke Cina untuk menyaksikan langsung kondisi perang saudara yang terjadi di daerah tersebut. Dalam film ini, si jurnalis bertemu dengan tokoh perlawanan yang menghadapi tentara pemerintah. Oleh si pemberontak ini di minta untuk mengungsi ke huang chi.

Di huang chi inilah si jurnalis bertemu dengan sebuah panti asuhan (jika boleh dikatakan seperti itu). Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Panti ini di huni oleh belasan anak laki-laki yang telah yatim piatu karena perang.

Awalnya sangat sulit untuk dapat diterima oleh anak-anak ini. Karena memang mereka mengalami sebuah trauma dengan orang asing. Berhari-hari si jurnalis berusaha menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud buruk –dengan bahasa isyarat tentunya --. Di rumah itu tidak ada satupun anggotanya yang mampu berbahasa inggris. Sampai akhirnya datang seorang relawan yang mengantarkan bahan makanan ke panti ini. Dari seorang relawan ini si jurnalis mengenal kondisi yang sedang terjadi di panti ini.

Si jurnalis menyadari betul bahwa untuk dapat dipahami oleh anak-anak ini, ia hanya perlu berbicara dengan bahasa cinta, mengapa karena memang bahasa itu yang dapat di terima di semua tempat. Berhari-hari si jurnalis melakukan pekerjaan yang ia lakukan atas dasar cinta bukan karena terpaksa. Demi melihat kondisi yang memprihatinkan ini, ia berusaha keras agar –minimal- ia dan anak-anak ini tidak kekurangan makanan, dapat hidup dengan sehat (rumah tempat tinggal mereka sangat jauh dari kata bersih) belum lagi anak-anak di panti ini tidak mau mandi dan hidupnya tidak teratur.

Berhari-hari, berbulan-bulan ia terus berusaha berkomunikasi dengan bahasa cinta, mulailah satu dua anak membantu dan bekerja sama dengannya. Sambil ia terus berusaha mempelajari bahasa ibu anak-anak ini. Hari berganti, ekspansi memasuki wilayah yang mereka diami ini dan sudah saatnya bagi mereka untuk meninggalkan tempat ini, menuju daerah yang lebih aman.

Kisah ini berakhir dengan manis. Anak-anak panti itu hidup dengan aman di sebuah daerah yang jauh dari zona perang. Hingga film ini di rilis, anak-anak panti asuhan yang masih hidup hingga sekarang memberikan kesan mereka terhadap tokoh jurnalis. Menurut mereka si jurnalis ini adalah malaikat yang di kirimkan Tuhan untuk menyelamatkan hidup mereka. Dan mereka memberikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam untuk beliau.
Dalam kisah ini juga mengajarkan bahwa jangan pernah menyerah untuk mencapai apa yang telah direncanakan dan dicita-citakan. Kita tidak akan pernah tahu hasil atau akhir dari perjuangan atau pengejaran itu sampai kita melakukannya dan terus melakukannya sampai Tuhan mempertemukan kita dengan yang namanya Takdir.

Kotabumi, 1 januari 2010