Rocky Balboa (Bagian II)

Setiap orang, setiap diri manusia bertanggung jawab atas diri mereka masing-masing. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidup mereka adalah hasil dari pekerjaan mereka sendiri.

Pesan ini yang ingin disampaikan oleh Rocky Balboa kepada kita semua yang menyaksikan filmnya. Bagian ini adalah bagian yang paling aku sukai dari keseluruhan film ini. Bagian saat anaknya protes atas keputusannya untuk naik ring kembali. Ia protes karena ia merasa bahwa kehidupannya selalu di bawah baying-bayang nama besar “Balboa”. Coba dengarkan keluahnnya.

“Hidup bersama ayah tidaklah mudah. Orang-orang melihatku, namun mereka memikirkan ayah.”

Rocky memahami kondisi psikologis anaknya. Ia mengatakan bahwa ini adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan. Namun si anak terus berkeras agar Rocky membatalkan rencananya tersebut. Namun perhatikan apa yang dikatakan Rocky kepada anaknya.

Kau takkan percaya, tapi kau dulu cukup dalam genggaman ayah. Ayah angkat dan ayah katakan pada ibumu, “Dia akan menjadi yang terbaik di dunia. Anak ini akan menjadi lebih baik dari siapapun.” Dan kau tumbuh dengan baik, menyenangkan melihatmu tiap hari adalah istimewa.
Lalu saat kau tumbuh dewasa, kau menghadapi dunia dan kau melakukannya. Namun entah bagaimana engkau berubah. Kau berhenti menjadi dirimu. Kau biarkan orang lain menunjukmu dan mengatakan kau tidak berguna. Saat situasi bertambah parah kau mulai mencari sesuatu untuk di salahkan. Misalnya bayangan besar.
Ayah beritahu apa yang sudah kau ketahui. Dunia tidak seperti matahari dan pelangi. Dunia sangat kejam dan keras, ayah tidak peduli sekuat apapun dirimu, dunia akan memaksamu untuk bertekuk lutut dan menahanmu jika kau biarkan.
Kau, dirimu dan tak seorangpun akan memukulmu sekeras kehidupan. Namun ini bukan mengenai seberapa keras kau memukul, tapi seberapa keras pukulan yang akan kau terima dan terus maju. Berapa banyak pukulan yang dapat kau terima dan terus bergerak maju. Begitulah kemenangan itu diraih.
Jika tahu kemampuanmu, dapatkan yang pantas kau dapatkan tapi kau harus mau dipukul dan tidak menyalahkan orang lain dan bilang kau tidak seperti yang kau mau karena dia atau siapapun pengecut melakukan itu, dan itu bukan dirimu. Kau lebih baik dari itu semua.
Tapi sebelum kau yakin pada dirimu, kau tidak akan memiliki kehidupan.

Ya, sebelum kau yakin dengan dirimu sendiri, maka kau tidak akan pernah memiliki kehidupan. Setelah ku saksikan seluruh bagian film, aku merubah pandanganku terhadap film ini, aku katakan bahwa, film ini sangat luar biasa. Ada banyak pelajaran tentang kehidupan yang berhasilku petik. Terimakasih Rocko.

Kotabumi, 26 April 2009

Rocky Balboa (Bagian I)

Beberapa bulan yang lalu, saat masih di Medan, aku mengetahui bahwa Film Rocky Balboa kembali di produksi. Teman-teman banyak yang mengatakan bahwa film ini kesannya dipaksakan oleh si “Rocky”. Setelah menyaksikan filmnya, teman-teman berkomentar sama dengan komentar saat film ini akan dibuat. Film ini kesannya dipaksakan. Karena aku belum pernah menyaksikan langsung, aku mengambil kesimpulan yang sama dengan teman-teman.

Beberapa hari yang lalu, saat berada di tempat penyewaan VCD dan DVD, aku mendapatkan VCD Rocky Balboa. Aku berpikir mengapa tidak ku saksikan saja langsung, siapa tahu pikiranku selama ini salah. Aku berpikir mungkin ada sisi positif yang dapat diambil dari film ini.

Film ini bercerita tentang kehidupan Rocky Balboa setelah menggantung sarung tinju dan membuka restoran. Kehidupannya memburuk saat istrinya meninggal dunia karena kanker. Praktis Rocky semakin kesepian, anak semata wayangnya telah tumbuh dewasa dan berusaha untuk mandiri.

Dalam kesepian itu, muncul ide “gila” dari dalam diri rocky, untuk naik ring lagi dan kembali bertinju. Padahal saat itu usianya sudah tidak muda lagi, di atas 50 tahun. Namun sisa-sisa kejayaan masa lalu itu, masih melekat di tubuhnya. Setelah usaha yang alot untuk mendapatkan lisensi bertinju lagi, rocky mendapatkan tawaran pertandingan eksebisi dengan petinju terbaik saat ini. Awalnya ia ragu, karena ia hanya berpikir untuk bertanding dalam skala kecil, local saja, bukan pertandingan akbar seperti tawaran yang datang kepadanya tersebut.

Ia ragu, dan itu adalah hal yang wajar. Karena niat awalnya hanya untuk melakukan sesuatu yang ia sukai. Itu saja. Melakukan apa yang ia sukai. Seorang temannya, “Little Marie” berkata padanya pada saat ia mengantarkannya pulang. Little Marie mengatakan, “Kita memiliki semangat, namun biasanya tidak memiliki kesempatan untuk mengguna-kannya lalu hal tersebut hilang. Inilah dirimu, kau akan selalu seperti ini, kau tidak menyingkir untuk siapapun hingga kau siap menyingkir. Tak penting akan terlihat seperti apa bagi orang lain, yang penting adalah terlihat seperti apa bagimu. Jika ini yang ingin dan harus kau lakukan, maka lakukanlah.

Penting bagi kita dalam menjalani kehidupan ini untuk melakukan dan mengerjakan sesuatu yang kita sukai. Rasa suka adalah awal dari sebuah hadirnya energi besar dalam diri untuk terus berjalan menentang badai kehidupan yang datang menghadang. Rasa suka adalah pupuk yang menyuburkan semangat, semangat akan terus tumbuh dan tumbuh. Perhatikan sekeliling kita, orang-orang yang mengerjakan apa yang ia sukai akan mendapatkan hasil pekerjaan yang sangat baik. Coba perhatikan pula orang-orang yang mengerjakan apa yang tidak ia sukai, maka hasil pekerjaannya tidak pernah baik dan berhasil. Cobalah.

Bersambung. (kotabumi, 26 April 2009)

Inside Man

Menarik. “Two Thumbs Up!”

Setiap film yang diperankan oleh Denzel Washington, selalu menarik perhatianku. Mengapa? Ketika menyaksikannya, kita tidak dibiarkan untuk sekedar terhibur, namun juga berusaha untuk menganalisis situasi. Dan berusaha untuk memecahkan teka-teki yang terjadi di dalam film itu sendiri. Karena memang peran-peran Denzel kebanyakan sebagai seorang detektif, atau pihak yang berusaha mencari kebenaran atas suatu kejadian. Dari beberapa film Denzel yang ku saksikan, mulai dari Bone Collector, Man on Fire, De Javu, dan termasuk di dalamnya film yang baru saja ku saksikan ini.

Dalam film yang didukung oleh Jodie Foster dan Clive Owen ini, ending-nya seperti apa, tidak berhasil ku temukan jawabannya di awal. Aku mendapatkannya di sepertiga bagian yang akhir. Itupun hanya gambaran perampoknya keluar dari kepungan polisi, tentang keberhasilan gemilang perampoknya, itu kudapatkan di akhir cerita.

Yang ku pelajari dari film ini adalah, sikap untuk tetap tenang dalam kondisi apapun. Baik dalam keadaan tertekan ataupun dalam keadaan menekan. Kedua, tetap percaya dengan kemampuan yang kita miliki. Jangan cepat terpengaruh dengan situasi yang memburuk atau tidak sesuai dengan rencana, jalankan rencana yang lain. Satu lagi, untuk memenangkan negosiasi, tetap tenang, fokus dengan kekuatan diri, dan menangkan (untuk awal) pihak lawan untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar lagi. Selanjutnya adalah, untuk teliti dengan apa yang sedang dikerjakan. Awasi setiap detailnya, jangan ada yang salah atau terlewatkan. Karena kesalahan kecil akan berakibat fatal.

Kotabumi, 26 April 2009

The Power Of Silaturrahmi

Kemaren, 24 April 2009, bersama hendra, teman lama. Aku mengunjungi beberapa teman lama yang sampai 9 tahun tidak bertemu. Ada 2 orang yang kami jumpai, pertama teman di SMP, sejak lulus SMP hingga tahun ini kami tidak pernah bertemu, baru kemaren itulah kami bertemu kembali. Satu lagi, teman SMA, sejak lulus SMA, aku tidak pernah mendapatkan kabar darinya.

Mungkin dalam beberapa tulisanku yang lalu, aku pernah menceritakan tentang mimpi-mimpi yang ingin ku kerjakan di tanah kelahiranku ini. Terkesan narsis, egois, mengada-ada dan lain sebagainya. Tapi aku meyakini satu hal bahwa, jika kita bersungguh-sungguh maka kita akan menemukan jalan menuju kesuksesan itu sendiri. Sedikit ku ulangi, aku memiliki mimpi untuk “membangun” tanah kelahiranku.

Kampanye ini sudah ku dengungkan sejak aku lulus SMA 6 tahun yang lalu. Saat aku kuliah di Sumatera Utara pun, kampanye itu terus aku lancarkan. Aku sadar bahwa, daerah kami memiliki potensi SDM yang luar biasa. Terbukti bahwa anak-anak dari tanah kelahiranku ini, banyak yang berhasil di negeri orang. Sayangnya, dari beberapa orang yang ku ajak untuk sedikit membagi pikirannya untuk tanah kelahiran, mereka semua menghindar. Satu ungkapan yang ku dapat dari beberapa di antara mereka, “ah.. gak mungkin bag!” tapi aku belum menyerah, aku masih terus mengkampanyekan seruan untuk “marspature hutanabe” ke setiap teman-teman yang berhasil di luar daerah untuk berbagi dengan tanah kelahirannya.

Robert Murshal, saat ini sudah menjadi polisi dengan pangkat Briptu. Menikah bulan ini. Aku dengar kabar, tapi tidak dapat undangan. Robert menyesalkan ketidaktahuannya tentang keberadaanku di kota ini.

“Kalo gua tau lo di sini, gua yang jemput langsung ke rumah lo.” Itu kata Robert kemaren

Panjang lebar kami bercerita tentang pengalaman masing-masing. Aku banyak mengambil pelajaran di sana. Terutama tentang semangat. Kata Robert kala itu, “Prinsip gua satu, kalo gua yakin, gua kerjain sungguh-sungguh.” Robert juga bertanya tentang bisnis apa yang sedang aku garap dengan beberapa teman. “Ajak-ajak oi…” lanjut Robert.

Haris Forta Negara, teman sebangku sejak SMP hingga SMA, pahit manis perjuangan di bangku sekolah kami rasakan bersama. Sosok cerdas, sayangnya pernah salah dalam mengambil langkah, berpotensi, menikah, dikaruniai seorang anak. Bekerja sebagai pengusaha travel. Lain Robert lain lagi Haris. Pengalaman kelam di kampus banyak menghiasi perbincangan kami malam itu. Tapi aku menangkap sebuah semangat, semangat untuk bertahan hidup. Semangat untuk terus menjalani jalan yang telah dipilih secara sadar olehnya. Walau kadang orang tua tidak setuju. Terutama mengenai pekerjaan. “Gua males jadi PNS, bukannya gua nyombong, sekali gua jalan bawa rombongan, 10 juta gak kemana.” Itu katanya saat menceritakan desakan orang tuanya yang ingin dia jadi PNS dan kurang setuju dengan pekerjaannya saat ini.

Aku mencatat, ada kesamaan semangat, semangat untuk bertahan hidup dengan pilihan-pilihan yang dibuat di persimpangan jalan kehidupan itu sendiri. “Ya… semua itu ada resikonya.” Kata Haris. Betul itu, semua itu ada resiko, setiap pilihan ada konsekuensi yang harus kita hadapi.

Dari silaturrahmi ini, aku menemukan kembali semangatku yang awalnya kendor, karena malam itu, aku menemukan teman-teman yang seide, sepikiran, sama seperti kami sekolah dulu. Ya.. kami tumbuh bersama, di lingkungan yang sama, mengenyam pendidikan yang kurang lebih sama, guru yang sama, dan di tanah yang sama, walau kami sempat dipisahkan oleh ruang dan waktu, namun itu tidak mengubahnya. Aku senang mereka memiliki semangat untuk membangun diri mereka sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain (baca: pemerintah).

Kotabumi, tengah malam 26 April 2009

Seputar Sinetron

Mungkin tulisan ini bukanlah tulisan pertama yang mengangkat tema tentang sinetron Indonesia. Sudah sejak lama saya ingin menuliskannya, namun baru kali ini pikiran dan tangan ini sejalan untuk menuliskannya.

Kemarin, saya (secara tidak sengaja) menyaksikan sebuah sinetron di sebuah stasiun televisi swasta, saya memang tidak menyukai acara sinetron apapun bentuknya. Karena menghabiskan energi ke tempat yang kurang produktif (menurut saya). Selesai shalat magrib saya duduk sebentar di depan televisi dan ikut menyaksikan sinetron yang kerap di tonton orang tua saya. Alasan orang tua saya, “Cuma ini hiburannya.”

Dari sekitar semenit saya menyaksikan salah satu scene sinetron ini, saya semakin muak. Memang pemerannya saya akui cantik secara fisik. Acting biasa-biasa saja, namun yang membuat saya muak adalah isi dari cerita sinetron ini. Jika saya menarik benang merahnya, tema-tema yang diangkat hanya tentang “kebencian, iri, dengki, dan pendangkalan akidah.” Belum lagi pemeran anak-anak dalam sinetron ini mereka seperti mendapatkan “pendidikan gratis” tentang kebencian, dengki dan sifat-sifat buruk lainnya.

Dalam scene yang saya saksikan itu, seorang pemeran wanita, sedang “menghasut” seorang pemeran anak-anak (masih berusia sekitar 3 tahun) untuk membenci ibunya. Hanya karena kebencian si pemeran wanita kepada ibu si anak. Saya mencatat, efek negatif dari sinetron ini tidak hanya bagi pemirsa setia yang menyaksikan acara ini di rumah. Namun juga akan berimbas pada mental anak-anak yang menjadi pemeran anak-anak di sinetron ini. Karena secara tidak sadar, sutradara, penulis skenario dan orang-orang yang memiliki ide sinetron ini, telah memberikan pendidikan “kebencian” kepada anak-anak yang masih polos.

Dalam waktu yang lama ini akan menjadi referensi dalam hidupnya. Kejadian-kejadian saat ia kecil (termasuk di dalamnya peran dia di sinetron itu), akan mengendap dalam pikiran bawah sadarnya dan akan muncul saat ia dewasa. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang memandang “negatif “ lingkungannya. Hati dan pikirannya akan ditumbuhi benalu-benalu kebencian. Sejak kecil kita sebagai orang tuanya memupuki benalu agar tumbuh subur dalam pikiran anak-anak kita.

Saya hanya dapat menghimbau kepada orang-orang tua agar memberikan tontonan yang lebih edukatif kepada anak-anak kita. Kemudian kepada pekerja seni, film dan televisi agar secara sadar memperhatikan akibat buruk dari sinetron yang mereka produksi. Saya juga tahu bahwa mereka sedang mencari makan dengan produksi sinetron itu. Tapi apakah kita ingin mengorbankan masa depan anak-anak kita?

Ah.. bodoh kau bag, mereka semua itu mana peduli dengan ocehanmu.
Kotabumi, 20 April 2009

Aku dan Buku

Entah berapa kali ku dengarkan teman-temanku terkejut dan berkata “Banyak kali bukumu bag!” Setelah melihat deretan buku di rak bukuku. Padahal aku merasa bahwa buku-buku yang ada di kamar ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh temanku yang lain. Bahkan ia menghabiskan sebuah lemari untuk menampung koleksi bukunya. Target untuk mengumpulkan hingga 450 judul buku sebelum menamatkan kuliah sepertinya sulit tecapai, karena sampai saat ini masih 250 judul buku yang berhasilku kumpulkan.

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menyukai kegiatan membaca. Mungkin dikarenakan orang tuaku adalah guru, sehingga bukunya banyak di rumah. Buku yang ada tidak hanya buku pelajaran, namun buku umum, novel, roman, biografi dan sebagainya. Sejak kecil aku sudah dikenalkan dengan namanya buku. Hanya saja yang kulakukan saat itu belum berlangsung secara sistematis, masih serabutan.

Jenis bacaan yang paling ku sukai adalah jenis cerita. Hampir seluruh cerita di buku bahasa Indonesia berhasilku lalap semuanya. Begitu juga dengan sejarah, aku paling suka membaca buku sejarah dan komik.

Berkaitan dengan komik, ternyata komik merupakan salah satu pemicu untuk meningkatkan minat baca. Karena di dalam komik kita disuguhkan bacaan yang ringan dan menghibur. Adanya gambar membuat kita tidak cepat bosan, namun tidak mengurangi maknanya, serta membiasakan kita untuk berkenalan dengan kata-kata.

Beruntung sekali bahwa aku memiliki seorang teman, anak orang kaya yang selalu membeli komik setiap minggunya. Belum lagi koleksi buku ensiklopedinya, aku begitu beruntung menikmatinya gratis. Ya, Secara tidak sadar, komik-komik itu telah membantu untuk mencintai deretan kata-kata. Sampai akhirnya kami mendapat tugas untuk membaca buku cerita (dipinjamkan dari sekolah sewaktu SD). Waktu itu aku mendapatkan buku tentang biografi Michael Faraday, penemu dynamo.

Awalnya aku tidak suka, karena rata-rata temanku mendapatkan buku cerita anak atau dongeng. Ketidaksengajaan itu membuahkan kecintaan. Hasilnya tidak hanya aku mengenal tokoh yang telah membawa perubahan signifikan di dunia, selain itu aku juga mulai menyukai membaca buku sejarah, terutama biografi orang-orang yang telah memberikan sumbangsih positif di dunia.

Kisahku dengan buku bermula saat aku mendapatkan tugas menjadi wakil sekolah dalam training kepemimpinan di Bandar Lampung. Dalam training ini kami mendapatkan uang saku Rp. 20.000 per hari dan training tersebut berlangsung 5 hari. Jadi, uang saku yang ku kumpulkan selama 5 hari adalah Rp. 100.000. Selesai training uang tersebut ku belikan al qur’an kecil agar mudah dibawa ke mana-mana dan beberapa buah buku. Buku-buku yang ku beli di Bandar Lampung itulah buku-buku pertamaku (waktu itu aku sudah kelas 2 SMU). Sewaktu SMU aku berkenalan dengan majalah Tarbawi.

Uang saku yang diberikan orang tua, ku simpan, kusisihkan dan kubelikan majalah yang isinya ringan namun sarat makna, Tarbawi. Lebih dari 60 edisi berhasil ku kumpulkan selama aku SMU. Kisahku berlanjut saat aku melanjutkan sekolah di Universitas Sumatera Utara, Medan. Di Medanlah ku kumpulkan buku satu demi satu hingga sekarang. Aku punya cita-cita untuk memiliki sebuah perpustakaan dengan koleksi ribuan judul buku, perpustakaan yang tidak hanyaku nikmati sendiri, orang-orang disekelilingkupun bisa menikmatinya.

Satu hal yang ku yakini bahwa, banyak tokoh-tokoh perubahan di dunia ini, mereka adalah orang-orang yang dibesarkan oleh buku. Siapapun dia, termasuk satu di antaranya adalah Michael Faraday, seorang anak miskin yang harus bekerja untuk dapat melanjutkan kehidupannya. Ia bekerja di toko buku, dan di sana lah ia mendapatkan banyak inspirasi tentang perubahan. Akhirnya ia dikenal hingga sekarang, teorinya masih berlaku dan menjadi bahan diskusi di sekolah-sekolah hingga ruang-ruang kuliah di universitas terkenal dunia. Semua berawal dari buku.

Mengapa Aku “Harus” Menulis?

Mungkin banyak di antara kita sepanjang kehidupan kita hingga saat ini tidak atau belum pernah menulis. Maksudnya menulis di sini adalah menuliskan pendapat-pendapat pribadi kita dalam sebuah tulisan bebas berbentuk esai, puisi, dalam bentuk cerita fiksi, atau dalam bentuk karya ilmiah.

Bagi kita yang di kampus atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, menulis adalah sebuah keterpaksaan yang harus diselesaikan. Karena jika kita tidak menyelesaikan sebuah karya tulis akhir (tugas akhir/ skripsi) maka kita tidak akan pernah menyelesaikan pendidikan kita di perguruan tinggi. Walau sekarang banyak biro jasa untuk pembuatan skripsi. Anda tinggal memberikan topic, tanpa penelitian tiba-tiba keluar hasil berupa buku skripsi.

Kebanyakan kita menganggap menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit. Mengapa, salah satunya karena kita jarang mengemukakan pendapat, baik secara ilmiah atau tanpa memenuhi kaidah ilmiah. Terlepas dari menulis itu sulit dan sebagainya, saya ingin memberikan beberapa pendapat tentang menulis. Mengapa kita harus menulis di dalam hidup ini.

Ali Bin Abi Thalib mengatakan, ikatlah ilmu pengetahuan itu dengan cara menuliskannya. Alas an pertama kita harus menulis adalah cara yang paling ampuh untuk mengikat ilmu yang kita pelajari. Coba anda bayangkan ketika kita sekolah tapi kita tidak pernah mencatat penjelasan guru di kelas atau tidak pernah melatih kemampuan kita dengan mengerjakan latihan di buku pelajaran? Apakah anda mampu mempertahankan apa yang anda pelajari di kelas? Saya yakin tidak mungkin.

Umar bin Khattab menasihati para orang tua, Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu; agar anak pengecut menjadi pemberani. Sastra adalah salah satu bentuk karya tulis. Ia ada karena ada penulis yang menuliskannya. Mempelajari sastra secara tidak langsung, kita belajar menulis. Agar apa? Agar kita menjadi seorang pemberani. Minimal berani mengemukakan pendapat.

Tulisan yang buram itu lebih baik dari pada ingatan yang cemerlang. Dalam waktu yang lama, tulisan yang kita buat akan berkurang kualitasnya atau menjadi buram, namun hal itu lebih baik dari pada ingatan yang cemerlang. Kita membaca siroh bahwa banyak penghafal al Qur’an yang syahid dalam perang. Jika Umar tidak berijtihad menuliskan al qur’an waktu itu, mungkin kita hanya mendengar cerita tentang al qur’an dari mulut ke mulut.

Jika engkau tahu bahwa umurmu pendek, panjangkan ia dengan menulis. Kita tentu mengenal Ibnul Qayyim Al Jauziah, Imam Bukhari, Imam Muslim dan ulama-ulama lainnya. Begitu juga kita mengenal para ilmuan yang berjasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan di jagad ini. Umur mereka seakan sangat panjang. Itu semua karena tulisan mereka masih kita baca hingga sekarang. Kita mengenal mereka, padahal kita tidak pernah bertemu dengan mereka.

Pramudya Ananta Toer berpesan, Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah. (Rumah Kaca; hal 325). Kita tidak akan pernah dikenal umat manusia jika kita tidak menulis. Kita akan hilang di pusaran sejarah umat manusia. Itu pesan seorang sastrawan legendaris Indonesia. Salah seorang calon penerima nobel sastra.

Scripta Manent Verba Volant – yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin. Seorang ulama besar dulu pernah mengatakan, jika aku berceramah, maka dakwahku hanya akan terbatas pada lingkaran orang yang hadir di depanku (di zamanku). Namun dengan menuliskan ilmu-ilmuku, muridku tidak terbatas hanya yang hadir. Dan ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Inilah sedikit alasan mengapa kita harus menulis. Paling tidak kita pernah menulis di dalam hidup kita. Budaya literasi (membaca dan menulis) adalah salah satu bukti ketinggian budaya suatu bangsa. Suatu bangsa akan dikatakan maju jika budaya literasi sudah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Kita perhatikan Negara-negara maju, jumlah penduduknya yang menuliskan tentang hidup dan kehidupannya itu pasti jauh lebih banyak daripada penulis yang ada di Indonesia. Dan kita tidak diminta untuk menjadi professional, yang paling penting adalah kita tetap membaca, tetap menulis dan tetap bekerja. Selanjutnya saya akan bercerita tentang bagaimana menulis, yang saya kumpulkan dari beberapa penulis terkenal. Semoga bermanfaat. (Kotabumi, 9 April 2009)

Jalan Sunyi Seorang Penulis

“Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus bekerja, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri cepat.“

Scripta Manent Verba Volant – yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin.


Buku ini adalah buku kesekian dari Muhidin M Dahlan, atau yang biasa di kenal sebagai Gus Muh. Ketika muda beliau aktif di beberapa organisasi mahasiswa seperti PII, HMI, PMII. Beliau pernah juga kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga. Keduanya tidak ada yang selesai. Saat ini beliau aktif menulis, membaca dan jalan-jalan, selain itu juga beliau adalah penggiat Indonesia Buku (iBuKu) Jakarta.

Buku ini seperti sebuah mini biografi tentang seorang penulis muda. Dalam buku ini digambaran bahwa penulis muda –bertalenta- itu adalah sosok yang kurus, kumal, tidak terurus dan tinggal di rumah kontrakan yang tidak kalah kumuhnya.

Dalam pengantar “Mengapa aku transkripsi ini kususun?” si Transkriptor menceritakan usahanya untuk menulis sebuah seri penerbitan idealis dengan tema : Proses Kreatif Anak Muda dalam Dunia Buku dan Aksara. Ada beberapa nama yang telah dipilih, dan si penulis muda yang kumal itu masuk satu di antaranya. Dalam pengantar si transkriptor menuliskan bahwa ia sudah jengah menghadapi penulis “sialan” ini. Mulai dari sms perkenalannya yang tidak dibalas-balas. Sampai sikapnya yang aneh saat mereka bertemu di Yogyakarta. Namun satu energi besar yang ia rasakan saat ia membaca sebuah berita di pojok sebuah Koran yang memberitakan bahwa penulis muda –bertalenta- itu tewas di tabrak sebuah bus pariwisata di depan gang kontrakannya.

Kulakukan ini semuanya deminya, yang bukan orang besar, yang hanya orang kecil. Aku sudah tidak percaya dengan Socrates saat ia mengatatakan hanya orang-orang besar yang patut menjadi tragedi untuk menjadi teladan keagungan martabat, sementara rakyat kebanyakan hanya pantas menjadi tokoh-tokoh komedi, untuk menjadi bahan olok-olok. Buku ini adalah jelmaan transkripsi yang tersimpan itu. Hanya tulisan tentang orang kecil dan ambisi yang tak kalah kecilnya: ingin tetap menulis, ingin tetap membaca dan ingin tetap bekerja, dan bersiap-siap hidup miskin. (Mengapa aku transkripsi ini kususun?, hal 24)

Seperti telah saya katakan di atas bahwa buku ini adalah sebuah mini biografi seorang penulis muda yang tewas saat masih muda. Bagaimana ia mengawali kehidupannya dengan kegiatan tulis menulis, buku dan penerbitan. Di awali dari kehidupannya di sebuah kampung pedalaman yang tidak pernah mengenal yang namanya buku. Kemudian datang seseorang dari kota yang membawakan untuknya sebuah buku, ya buku. Untuk waktu yang lama ia terkesima dengan benda pemberian orang kota itu.

Pada akhirnya ia berkesempatan untuk menimba ilmu di sebuah kota pendidikan di negeri ini. Di kota inilah interaksinya semakin intens dengan buku. Perpustakaan daerah adalah tempat yang paling nyaman baginya. Dibutuhkan waktu 45 menit naik angkot menyusuri kampung-kampung yang sepi, ia bertanya dalam hati apakan perpustakaan memang harus di pinggirkan? Gedung perpustakaan ini lebih mirip rumah mewah tak berpenghuni. (hal 65)

Aku tinggal disebuah asrama pengap, di dunia asrama ini aku merawat dengan setengah girang kesukaanku dengan buku. Hanya satu dua orang yang juga mencintai buku di dalam asrama itu. Ah, begitu sedikitnya, begitu minimnya orang mencintai buku di samping kanan dan kiriku. ( hal 90 )

Penulis muda ini menceritakan kepada transkriptor bahwa ia belajar menulis dari sebuah majalah di kampusnya. “Dengan jalan yang tidak lazim –karena memaksa – aku berhasil masuk dalam organisasi kemajalahan. Itu berarti satu langkah untuk mengenal dunia tulis menulis mulai terkuak. Sebab majalah akan menerbitkan tulisan. Dan menulis memerlukan bacaan yang banyak diserta pengamatan di lapangan yang jeli. Pilihan yang tampaknya sudah pas, sudah klop, sudah oke”. (hal 99)

Begitulah penulis muda itu menjalani kehidupan tulis menulisnya. Ia mengawalinya dari sebuah buku. Ia membangun kecintaannya pada kegiatan membaca. Ia relakan waktunya habis untuk membangun sebuah dunianya sendiri melalui bahan bacaan yang ada di dalam buku. Ia biarkan dirinya terbang ke dunia antah berantah yang diciptakan pikirannya sendiri saat ia membaca. Kemudian ia membangun sebuah kehidupan baru menjadi penulis. Ya menjadi penulis. Ia lakukan itu karena ia ingin menciptakan dunianya sendiri. Ia bosan dengan orang-orang yang menganggapnya aneh, kurang pergaulan dan lain sebagainya.

Dikehidupan selanjutnya di dunia tulis menulis, ia bersentuhan dengan Koran dan penerbitan buku. Di sana ia terus mengasah kemampuan menulisnya. Dalam sebuah perenungannya yang panjang. Ditemani “hantu” karl marx ia memunculkan sebuah manifesto untuk para penulis muda. Manifesto itu berbunyi “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus bekerja, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri cepat.”

Itulah dia, penulis muda bertalenta tewas di terjang sebuah bus pariwisata, ia hanya memiliki mimpi kecil, untuk terus membaca, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Satu lagi ia selalu terngiang pesan Pramudya Ananta Toer, Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah. (Rumah Kaca; hal 325). Kotabumi, 8 April 2009

Balada Supir Angkot (part III)

Kedua, tidak jelasnya arah pembangunan dari pemerintah. Saya tidak tahu bagaimana kalangan pemerintah mengartikan sebuah kemajuan kota. Ada sebuah pernyataan bahwa, “kemajuan suatu kota itu ditentukan oleh jumlah kendaraan yang semakin banyak.” Saya tidak sepakat dengan perkataan itu. Jumlah kendaraan di kota semakin meningkat, luas badan jalan tidak bertambah, akibatnya kemacetan lalulintas.

Masing-masing kendaraan memiliki umur ekonomis. Dalam waktu tertentu, sebuah kendaraan harus di ganti dengan yang baru, karena sudah tidak layak pakai. Sementara di Indonesia tidak ada pemberlakuan batas umur kendaraan. Akibatnya banyak kendaraan yang tidak layak jalan, terus dipaksakan jalan. Akhirnya polusi udara meningkat.

Ketiga, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk menanggulangi masalah ini. Sepertinya dibiarkan berlarut-larut. Seperti kasus trayek beberapa angkot yang saling tumpang tindih. Para supir angkot yang telah lama beroperasi di jalur itu, merasa lahannya diserobot oleh angkot yang lain. Pertikaian tidak dapat dihindarkan, sama-sama merasa memiliki izin untuk melalui jalur itu. Dinas Perhubungan yang bertugas mengatur ini sepertinya sembunyi tangan.

Perlu di buat peraturan yang jelas, sehingga tidak ada lagi pertikaian di jalanan. Peraturan tentang jumlah kendaraan yang beroperasi di suatu trayek, pembatasan jumlah becak motor, dan beberapa peraturan lain yang perlu. Berangkat dari umur ekonomis kendaraan, pemerintah juga dapat mengelurkan peraturan, kendaraan yang sudah tidak layak pakai untuk tidak dipakai lagi.

Akhirnya, pemerintah yang memiliki tugas mengatur kehidupan masyarakat seharusnya serius menanggapi permasalahan yang muncul di masyarakatnya. Tidak dengan membiarkannya berlarut-larut. Banyak orang yang dirugikan dengan keterlambatan penanganan masalah kerakyatan ini.

Balada Supir Angkot (part II)

Selain itu juga, mereka (supir angkot) harus bersaing dengan teman-temannya yang se-profesi. Mereka sama-sama mengejar setoran sehari yang jumlahnya Rp. 75.000. dengan biaya operasional paling tidak Rp. 300.000/ hari, untuk membeli BBM. sangat sulit bagi mereka mengejar setoran itu. Belum lagi jumlah Becak motor yang tumbuh bak jamur di musim hujan, terus bertambah seperti tidak ada batasan. Tidak heran jika sering terjadi “gesekan” di jalanan. Baik antara supir angkot atau dengan pengendara becak motor.

Belum lagi mereka harus menghadapi “pungutan” uang retribusi. Jumlahnya tidak sedikit, untuk salah satu trayek angkot ada yang mencapai Rp. 21.500/ hari. Retribusi yang resmi dari perusahaan hanya Rp. 7.500, sedangkan sisanya adalah uang “preman” yang entah lari kemana rimbanya. Kadang si supir terpaksa mencari jalan memutar untuk menghindari si “preman.”

“Biar di bayar di kantor aja.” kata seorang supir kepada saya saat ditanya mengapa memutar kendaraannya.

Keadaan sebelum kenaikan harga BBM, ternyata lebih baik. Saya memiliki beberapa orang teman yang bekerja sebagai supir angkot. Dalam sehari mereka mendapatkan bersih di luar BBM, retribusi dan setoran yaitu, Rp 100.000 dan kadang lebih dari itu.

Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menjadi seorang supir. Di mana jumlah penumpang menurun hingga 75 %, setoran meningkat, pungutan meningkat, biaya operasional meningkat dan masalah lain yang semakin menyulitkan. Sementara di rumah, ada beberapa mulut yang senantiasa ‘menganga’ setiap hari, hal ini juga menjadi pikiran sehari-hari si supir angkot selain setoran yang sulit di dapat. Tidak jarang mereka harus menutupi uang setoran, karena pendapatan hari ini tidak mencukupi.

Kasus yang sama juga dialami oleh para supir taksi. Jumlah mereka semakin meningkat, penumpang menurun, biaya semakin meningkat, setoran meningkat dan lain-lain.

Jika kita mencoba untuk mencari akar masalah dari keadaan sekarang ini, masalah pertama adalah kenaikan BBM telah memicu kenaikan biaya yang lain.Angkot (angkutan kota) juga berusaha menutupi biaya operasional dengan menaikkan ongkos per trayek. Namun, disisi yang lain, perusahaan penghasil sepeda motor memanfaatkan momen ini untuk mengeruk keuntungan. Mereka menjual sepeda motor dengan uang pangkal (DP) murah dan cicilan ringan. Tidak heran kalau sekarang seorang buruh bangunan yang telah memiliki penghasilan tetap berani mengambil kredit motor. Sementara supir angkot tidak beranjak kehidupannya.

Balada Supir Angkot (part I)

Dalam beberapa hari ini Medan sedang ‘Demam.’ Suhu yang berada di atas tiga puluh derajat celcius tidak menyurutkan warga Medan untuk beraktivitas. Terlihat orang begitu ramai berlalu lalang, berkendaraan pribadi, dengan sepada motor, naik angkot, atau hanya berjalan kaki. Dan saat itu, saya adalah salah satu warga medan yang sedang beraktivitas. Ada janji yang harus ku penuhi di salah satu sudut kota Medan.

Dalam perjalanan pulang, dengan menaiki angkot (angkutan kota) Desa Maju trayek 12 saya sempatkan untuk berbincang-bincang dengan pengendara angkot ini. Dari kesan pertama, ia belumlah begitu tua, berumur sekitar 40 tahunan. pembicaraan bermula saat saya tanyakan lama ia bekerja di belakang stir mobil. Saya sungguh tidak menduga kalau ia sudah bekerja sebagai sopir selama 22 tahun yaitu, sejak 1984. Tidak hanya di Medan, ia juga pernah membawa metro mini di Jakarta. Dari sini mengalirlah cerita bagaimana susahnya menjadi seorang supir angkutan kota. Di tengah terus berkembangnya kota, sepertinya angkutan kota tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Masyarakat cenderung memilih berkendaraan pribadi ketimbang memilih angkutan umum.

Supir Desa Maju ini juga menceritakan bagaimana susahnya menyari penumpang. Kadang terisi kadang tidak. Sedangkan mereka memiliki kewajiban menyetor ke perusahaan pemilik mobil yang tidak sedikit. Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), otomatis menaikkan biaya operasional kendaraan perhari. Pak supir ini mengaku dalam sehari ia ‘hanya’ dapat membawa pulang Rp. 30.000. Sementara di rumah ada 4 orang yang menunggunya. Menunggu dengan harapan sang ayah pulang dengan rejeki yang banyak. Pak supir ini menghidupi seorang istri dan 3 orang anak. Anak tertua sekarang sudah SMA, yang kedua akan masuk SMA, dan yang terakhir sedang di SMP.

Selanjutnya, ia bercerita bagaimana enaknya bekerja sebagai supir di tahun 80-an hingga sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Dulu, pemilik mobil mencari supir yang ingin membawa mobilnya. Setelah ada kesepakatan awal berapa setoran dan sebagainya, kita sudah dapat membawa mobilnya. Berbeda dengan sekarang, banyak orang ingin menjadi supir. Dulu, penumpang masih banyak tidak seperti sekarang, dengan DP. Rp. 500.000, seseorang sudah dapat membawa pulang sepeda motor dari dealer. Semakin banyaknya sepeda motor, mengakibatkan jumlah penumpang menurun, akhirnya pendapatan supir angkot menurun drastis. Selain jumlah sepeda motor yang meningkat, jumlah angkot juga meningkat.

MENINGGALKAN MICROSOFT UNTUK MENGUBAH DUNIA “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia”

“… bacaan inspiratif yang sangat menular. Lebih dari sekedar buku tentang bisnis dan cara menjalankan praktik bisnis dengan lebih baik.” –Publishers Weekly

Buku ini ditulis oleh seorang mantan eksekutif Microsoft yang wilayah kerjanya meliputi asia pasifik. Dia bernama John Wood. Buku ini adalah sebuah memoar John tetang perjalanan panjang membangun sebuah organisasi nirlaba yang membangun perpustakaan dan sekolah-sekolah di Asia.

Buku ini dimulai dengan kata-kata yang diucapkan pengurus sekolah di Nepal saat ia berlibur ke himalaya. “Barang kali pak, suatu hari nanti anda datang dengan buku-buku”. Ketika itu, john mengunjungi sebuah sekolah, namun ia tidak menemukan perpustakaan di sekolah tersebut. Saat ia bertanya dimana letak perpustakaannya, seorang guru menunjukkan sebuah ruangan –tanpa buku- yang kurang terawatt, dan terdapat sebuah lemari yang terkunci. Lemari dibuka dan terdapat beberapa buku usang –kebanyakan peninggalan pendaki himalaya- dan tidak layak dibaca oleh anak-anak.

Sembilan tahun sudah John membesarkan Microsoft. Ia bertanya pada dirinya, hasil dari pekerjaannya selama ini. Karir dan uang. Ia mulai merasa apa yang dikerjakannya ini sebagai sesuatu yang membosankan. Ia tidak lagi mempunyai waktu untuk sekedar mengembangkan hobi atau membangun sebuah hubungan yang baik dengan orang-orang terdekatnya, keluarga dan teman. Waktunya habis dari pertemuan ke pertemua. Dari Sidney, Hongkong, China, Malaysia dan sebagainya. Namun apa yang ia dapatkan untuk dirinya. Hanya karir dan uang belaka. Perjalanan ke Nepal itulah yang akhirnya membuka matanya, tentang hidup yang berkualitas.

Harus Memilih

Cukup lama pergulatan dalam batin John. Ia terus menimbang-nimbang kehidupannya setelah Microsoft. Sebagai manusia normal tentunya adalah sebuah kekhawatiran yang wajar, saat kita memiliki pekerjaan yang bagus, karir yang baik, kemudian kita tinggalkan secara tiba-tiba. Sementara di sisi yang lain, kita belum memiliki sebuah pekerjaan baru yang akhirnya akan menunjang kehidupan kita selanjutnya. Namun, john seperti mendapatkan ilham yang selalu menguatkannya untuk segera meninggalkan Microsoft dan memulai kehidupannya di sini, di Nepal.

John menuliskan pergulatan batinnya, “Apakah pekerjaan saya sungguh-sungguh penting? Satu tahun yang sukses akan membantu sebuah perusahaan kaya semakin kaya. Saya akan menambahkan sejumlah uang pada rekening bank yang telah melibihi apapun yang mungkin saya impikan pada usia 35. Suara batin saya menggerutu, Lihat kamu seharusnya mengakui kepada dirimu sendiri bahwa Microsoft akan kehilangan kamu selama satu atau dua bulan. Seseorang akan dengan cepat mengisi tempat kosong itu. Itu berarti kamu seakan-akan tidak pernah bekerja di sana. Tanyakan pada dirimu, apakah ada ribuan orang mengantre untuk membantu desa-desa miskin membangun sekolah dan perpustakaan? Tidak ada yang melakukan pekerjaan itu. Kamu harus bangkit menghadapi tantangan ini.” (Hal. 50)

Hidup ini pilihan, dan siapa yang bersungguh-sungguh dengan pilihan hidupnya, siapapun ia maka Tuhan akan memberikan jalan kepadanya sehingga ia akan menemukan dirinya sebagai orang yang berhasil dalam mewujudkan pilihan hidupnya tersebut. Keyakinan itulah yang ingin ditularkan John kepada kita semua yang telah membaca buku ini. Walau pada awalnya ada kekhawatiran tentang kehidupannya. Namun yang perlu terus ditanamkan dalam diri adalah semangat untuk terus optimis dan antusias.

Seperti virus sikap antusias dan optimisme akan terus menular dan menyebar ke orang-orang disekitar kita. Pribadi yang memiliki pengarus adalah pribadi yang memiliki mimpi besar dan ia terus berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, apapun resikonya. Pengaruhnya akan mendorong orang-orang disekeliling kita untuk ikut serta membantu kita dalam mewujudkannya.

Manajemen Organisasi

Dalam buku ini juga, John membagikan ilmu bagaimana menjalankan sebuah organisasi nirlaba yang mendunia. Sebenarnya, dalam menjalankan organisasinya -yang bernama room to read- John mengadopsi budaya-budaya yang berkembang selama ini di Microsoft. Budaya yang akhirnya membesarkan Microsoft sendiri. John mengatakan ada 4 budaya yang ia pelajari di Microsoft.

Pertama, fokus kuat pada hasil. John menuliskan, “Saya memutuskan satu cara untuk membuat room to read berbeda adalah dengan berbicara tentang dan sering-sering memperbarui hasil-hasil kami. Daripada berbicara berbicara tentang apa yang akan kami lakukan, saya justru akan berbicara tentang apa yang telah kami lakukan. Hal-hal nyata: jumlah sekolah yang dibuka, jumlah buku yang telah didonasikan, berapa jumlah anak perempuan yang mendapatkan beasiswa”. John yakin bahwa, orang-orang yang mendonasikan uang mereka akan merasa senang, karena uang yang mereka donasikan benar-benar bermanfaat.

Kedua,digerakkan dengan data. Ada sebuah keyakinan di Microsoft bahwa segala sesuatu harus diukur dan bahwa setiap manajer bisnis mestinya mempelajari setiap keeping data yang tersedia mengenai bisnisnya. Setiap manajer di Microsoft harus mengukur sejauh mana pendapat mereka dan sejauh mana pendapatan para pesaingnya. Sehingga dengan itu mereka dapat memetakan posisi mereka dibandingkan pesaing.

Ketiga, pekerjakan orang-orang cerdas. John berkeyakinan bahwa, keputusan apapun yang didapat dari debat bersemangat akan lebih baik daripada keputusan yang diambil menurut perintah sederhana atasan. Orang-orang yang cerdas akan selalu bersemangat ketika dihadapkan pada sesuatu yang baru dan menantang.

Keempat, bangun loyalitas anggota. Untuk membangun loyalitas tim yang anda miliki, anda harus loyal kepada mereka terlebih dahulu. Atau tunjukkan bahwa anda memiliki loyalitas kepada mereka semua dengan cara lebih memanusiakan manusia. Walaupun kita adalah pemimpin atau atasan, tetap hadirkan sisi kemanusiaan saat bersama dengan bawahan kita.

Penutup

Jangan berharap jadi apapun selain dirimu sendiri apa adanya. Dan cobalah untuk menjadi dirimu apa adanya itu secara sempurna.

Johann Wolfgang von Gothe pernah menulis tentang simponi ke lima Beethoven “Seandainya seluruh pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, planet bumi akan lepas dari porosnya.”

Silahkan baca, saat anda galau, anda akan mendapatkan jalan keluar. Itu yang saya rasakan.

Hidup Itu Untuk

Hidup itu adalah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Kalimat adalah kalimat sakti yang diucapkan seorang guru luar biasa, Pak Harfan. Seorang guru berdedikasi tinggi yang mengajar di SD Muhammadiyah Gantong. Dari kalimat inilah muncul orang-orang luar biasa dari sebuah SD miskin yang lebih mirip gudang kopra dari pada sekolah tempat menuntu ilmu.

Senada dengan sebuah hadist Rasulullah, bahwa manusia yang paling baik di antara kamu sekalian adalah manusia yang paling banyak manfaatnya buat orang lain. Kata-kata bermanfaat itu sangat dekat maknanya dengan memberi. Semakin banyak kita memberi kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, maka semakin bermanfaat kita buat orang lain.

Namun, terkadang ego yang ada dalam diri kita yang menahan kita untuk berbagi dengan orang-orang disekitar kita, terutama kepada orang-orang yang kekurangan. Memberi bukan hanya dalam makna harta, ada banyak lagi yang dapat kita bagi kepada orang lain, informasi, pengetahuan dan lain sebagainya. Hidup akan menjadi indah dengan berbagi. Manusia dilahirkan dengan tidak sempurna, ia memiliki banyak kekurangan, dan kekurangan tersebut akan dapat tertutupi dengan ia berbagi dengan orang lain. Boleh jadi ia memiliki kelebihan di bidang matematika, namun ia kurang di bidang bahasa inggris, ia akan dapat menutupi kekurangannya di bahasa inggris dengan bertanya/ berbagi pengetahuan dengan teman yang memiliki kemampuan di bidang bahasa inggris.

Sama seperti sebuah tim sepak bola. Tim ini tidak akan menang jika seluruh pemainnya ingin menjadi penyerang. Tetap harus ada yang menjadi penjaga gawang, pemain belakang, dan pemain tengah. Masing-masing lini harus bekerja sama membantu tim untuk menang. Setiap orang di tim sepakbola ini memiliki kelebihan masing-masing, tidak semuanya mememiliki kemampuan mencetak gol, ada yang memiliki kelebihan dalam bertahan dan ada pula yang memiliki kemampuan membagi bola dan mengatur tempo permainan.

Hidup akan semakin indah jika kita menyadari bahwa kehidupan ini bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya, namun untuk memberi sebanyak-banyaknya. Jika kita hanya menjadi penerima maka sesungguhnya kita adalah semiskin-miskin manusia.

John F Kennedy berkata, “Jangan Tanya apa yang telah diberikan Negara untukmu, namun apa yang sudah kau berikan buat negaramu.”

Mulai hari ini ubah pardigma kita dalam hidup ini. Jadilah seorang manusia yang senantiasa berbagi, memberi, dengan ini sesungguhnya kita sedang berusaha membuat diri kita semakin berarti dan semakin baik.

Medan, 28 oktober 2008

Dia...

Selalu ada semangat yang menyelusup ke dalam hatiku, setiap aku melihat wajahnya. Wajah yang keras, karena memang hidup yang dilalui begitu keras. Namun, saat engkau berkenalan dan akhirnya berinteraksi bersamanya, engkau akan menyadari bahwa hatinya begitu lembut. Sangat lembut malah. Ia tidak mampu melihat orang lain kesulitan, ia selalu selangkah di depan jika ada orang yang membutuhkan bantuan. Sampai-sampai dirinya tidak ia perhatikan lagi. Pernah ku katakan kepadanya, bahwa kelemahan pada dirinya itu hanya satu, ya Cuma catu, yaitu ia begitu baik dengan orang lain, hingga kadang ia tidak memperhatikan dirinya lagi.

Selalu ada semangat yang menyelusup ke dalam hatiku saat aku melihatnya. Tubuhnya begitu kuat, sepertinya Allah memang menciptakannya sebagai tempat bersandar orang-orang di sekitarnya. Tangannya yang kasar, menunjukkan ia begitu sering bekerja keras. Tidak peduli panas atau hujan, jika kebaikan memanggil ia akan terus berangkat. Kadang kami malu, ia yang hidup dalam kesulitan dalam hal ekonomi, namun tidak pernah mengeluh. Tidak pernah ku lihat ia mengeluhkan dirinya yang begitu lelah. Pernah ku lihat ia mengangkat meja yang biasa di angkat oleh dua orang, “Biar cepat selesai.” Katanya saat ditanya kenapa diangkat sendiri.

Ya..selalu ada semangat yang mengalir lembut masuk dari ubun-ubunku. Saat ku melihatnya hendak berangkat bekerja. Pekerjaan sederhana dan menguras tenaga, namun dengan pendapatan yang minim, namun ia tidak pernah menunjukkan ketidaksukaan, terus semangat. Itulah Allah, Ia akan membalas kebaikan dengan kebaikan, bahkan kebaikan yang berlipat-lipat. Itu yang kulihat darinya. Keyakinan akan adanya pertolongan dari Allah begitu kental, ia begitu yakin bahwa kebaikan yang dilakukannya akan dibayar kontan oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyiakan hambanya.

Selalu ada semangat yang hadir saat ku mendengarkan ia berbicara. Kadang memang apa yang ia katakan tidak pernah ku sangka sebelumnya. Selalu ada ide baru dan membangun saat ia diminta untuk berpendapat. Sampai-sampai ia kadang enggan datang ke rapat-rapat, karena ia menginginkan teman-temannya berpikir sendiri dan tidak terlalu tergantung padanya.

Selalu ada semangat dari setiap gerak langkahnya. Membuat kami selalu ingin berjalan beriring dengannya. Berusaha untuk menjajari langkahnya.

Namun, ia hanya manusia biasa yang kadang boleh untuk bersedih. Bersedih karena ia belum sempat berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Hanya selaksa doa yang terus ia panjatkan kepada Allah, agar kiranya Allah menjaga kedua orang tuanya yang berada jauh di sana. Puisi-puisinya yang memberitakan kepadaku betapa ia merindukan kedua orang tuanya. Dalam sebuah perbincangan dengannya, ia bercerita, “Sepertinya orang tuaku tidak mengizinkan aku merantau sejauh ini, aku merasa perjalanan ini sepertinya begitu berat, aku khawatir kalau-kalau orang tuaku tidak meridhoi perjalanan ini.” “Ah itukah hanya perasaanmu saja, hati-hati syetan merasuki perasaan kita, sehingga menimbulkan rasa was-was dan akhirnya berprasangka buruk. Serahkan semua pada Allah, biar Allah yang mengatur semua.” Aku menimpali.

Adalah sebuah keberuntungan besar bagiku menjadi salah satu teman dekatnya. Aku banyak belajar tentang kehidupan darinya. Aku berharap bahwa kebersamaan kami ini diteruskan hingga akhir hayat dan bersambung di syurga kelak. Aku teringat kisah dua orang yang bersahabat karena Allah, suatu ketika salah satu di antara mereka meninggal dunia dan ia mendapat kabar gembira dengan mendapatkan Syurga sebagai balasan. Kemudian ia berdoa kepada Allah, Ya Allah si fulan adalah temanku, darinyalah aku mengenalmu, ia yang banyak mengingatkan akan pertemuan denganmu, oleh sebab itu sepeninggalku ini, selamatkan ia duhai Allah. Kemudian Allah menjawab, “Sesungguhnya jika engkau tahu balasan yang ku berikan kepadanya, engkau akan banyak tersenyum daripada menangis.” Ah .. aku berharap menjadi salah satu di antara mereka berdua.

Ya… selalu ada semangat saat bersamanya, saat melangkah bersamanya, saat berbicara dengannya, saat melihatnya. Sosok sederhana, dan namanya… (Medan, 24-01-2008).

Anis Matta : Serial Cinta

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun, atau meransang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angku di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas, kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, ia menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan berengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang :seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Arau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua menjadi tiada. Seperti itulah cinta.

(Cinta Tanpa Definisi)

Begitulah cinta, ia hadir didalam hati, tanpa wujud, hanya makna santun yang bergemuruh seperti angin badai, seperti banjir menderas, seperti api yang menyala. Ia menjadi kekuatan besar dalam diri manusia, yang mengubah si pemalas menjadi rajin, si pelit menjadi pemurah. Cinta bekerja dengan cara yang tidak dapat di mengerti oleh akal pikiran kita.

Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi dan tindakan. Gagasannya adalah menjadikan orang yang kita cintai senantiasa tumbuh dan berkembang. Ia juga emosi yang menggelora karena seluruh isinya dalah keinginan baik. Tapi semua itu mengejewantah dalam bentuk tindakan nyata. (Pekerjaan Orang Kuat).

Semangat cinta adalah semangat penumbuhan. Menumbuh kembangkan pribadi dan orang yang kita cintai. Cinta adalah semangat menumbuhkan kebajikan-kebajikan dalam pribadi dan pribadi yang kita cintai. Sehingga ketika kita mencintai yang muncul tidak hanya cerita-cerita melankolik yang membuat kita jadi pribadi yang lemah, namun cerita yang muncul adalah cerita tentang semangat perubahan, semangat menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih berkualitas.

Dalam buku ini juga di berikan bagaimana menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sebuah “misi besar” dalam mencintai. Bagaimana memanajemen cinta jiwa (cinta pada manusia) sehingga tidak hanya berujung pada sebuah romantisme yang melemahkan jiwa. Anis Matta menuliskan dalam Orang-Orang Romantis, “Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan keadaan romantisme menharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bisa besar. Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehalusan dan kelemahan jadi tampak sama.” Seperti kisah Qais dan Layla.

Lanjut Anis Matta, Tapi inilah persoalan dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa itu berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya kesana : romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya kedalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena disana dunia seluruhnya hanya damai. (Orang-Orang Romantis).

Ketika cinta jiwa berbenturan dengan sebuah Misi Ketuhanan yang mengharuskan adanya perpisahan dan peperangan, jiwa cenderung melemah dan menjadi “frustasi”. Tapi, lihatlah saat cinta jiwa telah selaras dengan cinta misi (Cinta yang tidak terbatas hanya pada mencintai secara fisik. Namun, jauh dari itu semua, bagaimana semangat cinta ini ditumbuhkan untuk mencapai sebuah keridhoan Allah di dunia dan akhirat), maka ia akan menghadirkan sebuah kekuatan jiwa yang memungkinkan mereka (orang-orang romantis) tidak menjadi korban karena rapuh. Seperti ketika syahidnya Syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab, “alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari.”

Cinta misi inilah yang menjadi tema sentral dalam buku ini. Bagaimana memunculkan, menumbuhkan dan merawat cinta yang berujung pada misi besar kehidupan. Dengan mengangkat kisah-kisah agung dari pribadi-pribadi agung di masa Rasulullah dan para sahabat, kemudian dikaitkan dengan kondisi kekinian akhirnya muncul tesis-tesis tentang kekuatan cinta yang mampu mengubah kualitas hidup seseorang dan membangun sebuah peradaban. Selamat membaca.

Kotabumi, 2 April 2009