Balada Supir Angkot (part I)

Dalam beberapa hari ini Medan sedang ‘Demam.’ Suhu yang berada di atas tiga puluh derajat celcius tidak menyurutkan warga Medan untuk beraktivitas. Terlihat orang begitu ramai berlalu lalang, berkendaraan pribadi, dengan sepada motor, naik angkot, atau hanya berjalan kaki. Dan saat itu, saya adalah salah satu warga medan yang sedang beraktivitas. Ada janji yang harus ku penuhi di salah satu sudut kota Medan.

Dalam perjalanan pulang, dengan menaiki angkot (angkutan kota) Desa Maju trayek 12 saya sempatkan untuk berbincang-bincang dengan pengendara angkot ini. Dari kesan pertama, ia belumlah begitu tua, berumur sekitar 40 tahunan. pembicaraan bermula saat saya tanyakan lama ia bekerja di belakang stir mobil. Saya sungguh tidak menduga kalau ia sudah bekerja sebagai sopir selama 22 tahun yaitu, sejak 1984. Tidak hanya di Medan, ia juga pernah membawa metro mini di Jakarta. Dari sini mengalirlah cerita bagaimana susahnya menjadi seorang supir angkutan kota. Di tengah terus berkembangnya kota, sepertinya angkutan kota tidak lagi diperlukan oleh masyarakat. Masyarakat cenderung memilih berkendaraan pribadi ketimbang memilih angkutan umum.

Supir Desa Maju ini juga menceritakan bagaimana susahnya menyari penumpang. Kadang terisi kadang tidak. Sedangkan mereka memiliki kewajiban menyetor ke perusahaan pemilik mobil yang tidak sedikit. Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), otomatis menaikkan biaya operasional kendaraan perhari. Pak supir ini mengaku dalam sehari ia ‘hanya’ dapat membawa pulang Rp. 30.000. Sementara di rumah ada 4 orang yang menunggunya. Menunggu dengan harapan sang ayah pulang dengan rejeki yang banyak. Pak supir ini menghidupi seorang istri dan 3 orang anak. Anak tertua sekarang sudah SMA, yang kedua akan masuk SMA, dan yang terakhir sedang di SMP.

Selanjutnya, ia bercerita bagaimana enaknya bekerja sebagai supir di tahun 80-an hingga sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Dulu, pemilik mobil mencari supir yang ingin membawa mobilnya. Setelah ada kesepakatan awal berapa setoran dan sebagainya, kita sudah dapat membawa mobilnya. Berbeda dengan sekarang, banyak orang ingin menjadi supir. Dulu, penumpang masih banyak tidak seperti sekarang, dengan DP. Rp. 500.000, seseorang sudah dapat membawa pulang sepeda motor dari dealer. Semakin banyaknya sepeda motor, mengakibatkan jumlah penumpang menurun, akhirnya pendapatan supir angkot menurun drastis. Selain jumlah sepeda motor yang meningkat, jumlah angkot juga meningkat.

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat