Belum lagi mereka harus menghadapi “pungutan” uang retribusi. Jumlahnya tidak sedikit, untuk salah satu trayek angkot ada yang mencapai Rp. 21.500/ hari. Retribusi yang resmi dari perusahaan hanya Rp. 7.500, sedangkan sisanya adalah uang “preman” yang entah lari kemana rimbanya. Kadang si supir terpaksa mencari jalan memutar untuk menghindari si “preman.”
“Biar di bayar di kantor aja.” kata seorang supir kepada saya saat ditanya mengapa memutar kendaraannya.
Keadaan sebelum kenaikan harga BBM, ternyata lebih baik. Saya memiliki beberapa orang teman yang bekerja sebagai supir angkot. Dalam sehari mereka mendapatkan bersih di luar BBM, retribusi dan setoran yaitu, Rp 100.000 dan kadang lebih dari itu.
Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menjadi seorang supir. Di mana jumlah penumpang menurun hingga 75 %, setoran meningkat, pungutan meningkat, biaya operasional meningkat dan masalah lain yang semakin menyulitkan. Sementara di rumah, ada beberapa mulut yang senantiasa ‘menganga’ setiap hari, hal ini juga menjadi pikiran sehari-hari si supir angkot selain setoran yang sulit di dapat. Tidak jarang mereka harus menutupi uang setoran, karena pendapatan hari ini tidak mencukupi.
Kasus yang sama juga dialami oleh para supir taksi. Jumlah mereka semakin meningkat, penumpang menurun, biaya semakin meningkat, setoran meningkat dan lain-lain.
Jika kita mencoba untuk mencari akar masalah dari keadaan sekarang ini, masalah pertama adalah kenaikan BBM telah memicu kenaikan biaya yang lain.Angkot (angkutan kota) juga berusaha menutupi biaya operasional dengan menaikkan ongkos per trayek. Namun, disisi yang lain, perusahaan penghasil sepeda motor memanfaatkan momen ini untuk mengeruk keuntungan. Mereka menjual sepeda motor dengan uang pangkal (DP) murah dan cicilan ringan. Tidak heran kalau sekarang seorang buruh bangunan yang telah memiliki penghasilan tetap berani mengambil kredit motor. Sementara supir angkot tidak beranjak kehidupannya.
No comments:
Post a Comment
terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat