Balada Supir Angkot (part III)

Kedua, tidak jelasnya arah pembangunan dari pemerintah. Saya tidak tahu bagaimana kalangan pemerintah mengartikan sebuah kemajuan kota. Ada sebuah pernyataan bahwa, “kemajuan suatu kota itu ditentukan oleh jumlah kendaraan yang semakin banyak.” Saya tidak sepakat dengan perkataan itu. Jumlah kendaraan di kota semakin meningkat, luas badan jalan tidak bertambah, akibatnya kemacetan lalulintas.

Masing-masing kendaraan memiliki umur ekonomis. Dalam waktu tertentu, sebuah kendaraan harus di ganti dengan yang baru, karena sudah tidak layak pakai. Sementara di Indonesia tidak ada pemberlakuan batas umur kendaraan. Akibatnya banyak kendaraan yang tidak layak jalan, terus dipaksakan jalan. Akhirnya polusi udara meningkat.

Ketiga, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk menanggulangi masalah ini. Sepertinya dibiarkan berlarut-larut. Seperti kasus trayek beberapa angkot yang saling tumpang tindih. Para supir angkot yang telah lama beroperasi di jalur itu, merasa lahannya diserobot oleh angkot yang lain. Pertikaian tidak dapat dihindarkan, sama-sama merasa memiliki izin untuk melalui jalur itu. Dinas Perhubungan yang bertugas mengatur ini sepertinya sembunyi tangan.

Perlu di buat peraturan yang jelas, sehingga tidak ada lagi pertikaian di jalanan. Peraturan tentang jumlah kendaraan yang beroperasi di suatu trayek, pembatasan jumlah becak motor, dan beberapa peraturan lain yang perlu. Berangkat dari umur ekonomis kendaraan, pemerintah juga dapat mengelurkan peraturan, kendaraan yang sudah tidak layak pakai untuk tidak dipakai lagi.

Akhirnya, pemerintah yang memiliki tugas mengatur kehidupan masyarakat seharusnya serius menanggapi permasalahan yang muncul di masyarakatnya. Tidak dengan membiarkannya berlarut-larut. Banyak orang yang dirugikan dengan keterlambatan penanganan masalah kerakyatan ini.

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat