Jalan Sunyi Seorang Penulis

“Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus bekerja, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri cepat.“

Scripta Manent Verba Volant – yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin.


Buku ini adalah buku kesekian dari Muhidin M Dahlan, atau yang biasa di kenal sebagai Gus Muh. Ketika muda beliau aktif di beberapa organisasi mahasiswa seperti PII, HMI, PMII. Beliau pernah juga kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga. Keduanya tidak ada yang selesai. Saat ini beliau aktif menulis, membaca dan jalan-jalan, selain itu juga beliau adalah penggiat Indonesia Buku (iBuKu) Jakarta.

Buku ini seperti sebuah mini biografi tentang seorang penulis muda. Dalam buku ini digambaran bahwa penulis muda –bertalenta- itu adalah sosok yang kurus, kumal, tidak terurus dan tinggal di rumah kontrakan yang tidak kalah kumuhnya.

Dalam pengantar “Mengapa aku transkripsi ini kususun?” si Transkriptor menceritakan usahanya untuk menulis sebuah seri penerbitan idealis dengan tema : Proses Kreatif Anak Muda dalam Dunia Buku dan Aksara. Ada beberapa nama yang telah dipilih, dan si penulis muda yang kumal itu masuk satu di antaranya. Dalam pengantar si transkriptor menuliskan bahwa ia sudah jengah menghadapi penulis “sialan” ini. Mulai dari sms perkenalannya yang tidak dibalas-balas. Sampai sikapnya yang aneh saat mereka bertemu di Yogyakarta. Namun satu energi besar yang ia rasakan saat ia membaca sebuah berita di pojok sebuah Koran yang memberitakan bahwa penulis muda –bertalenta- itu tewas di tabrak sebuah bus pariwisata di depan gang kontrakannya.

Kulakukan ini semuanya deminya, yang bukan orang besar, yang hanya orang kecil. Aku sudah tidak percaya dengan Socrates saat ia mengatatakan hanya orang-orang besar yang patut menjadi tragedi untuk menjadi teladan keagungan martabat, sementara rakyat kebanyakan hanya pantas menjadi tokoh-tokoh komedi, untuk menjadi bahan olok-olok. Buku ini adalah jelmaan transkripsi yang tersimpan itu. Hanya tulisan tentang orang kecil dan ambisi yang tak kalah kecilnya: ingin tetap menulis, ingin tetap membaca dan ingin tetap bekerja, dan bersiap-siap hidup miskin. (Mengapa aku transkripsi ini kususun?, hal 24)

Seperti telah saya katakan di atas bahwa buku ini adalah sebuah mini biografi seorang penulis muda yang tewas saat masih muda. Bagaimana ia mengawali kehidupannya dengan kegiatan tulis menulis, buku dan penerbitan. Di awali dari kehidupannya di sebuah kampung pedalaman yang tidak pernah mengenal yang namanya buku. Kemudian datang seseorang dari kota yang membawakan untuknya sebuah buku, ya buku. Untuk waktu yang lama ia terkesima dengan benda pemberian orang kota itu.

Pada akhirnya ia berkesempatan untuk menimba ilmu di sebuah kota pendidikan di negeri ini. Di kota inilah interaksinya semakin intens dengan buku. Perpustakaan daerah adalah tempat yang paling nyaman baginya. Dibutuhkan waktu 45 menit naik angkot menyusuri kampung-kampung yang sepi, ia bertanya dalam hati apakan perpustakaan memang harus di pinggirkan? Gedung perpustakaan ini lebih mirip rumah mewah tak berpenghuni. (hal 65)

Aku tinggal disebuah asrama pengap, di dunia asrama ini aku merawat dengan setengah girang kesukaanku dengan buku. Hanya satu dua orang yang juga mencintai buku di dalam asrama itu. Ah, begitu sedikitnya, begitu minimnya orang mencintai buku di samping kanan dan kiriku. ( hal 90 )

Penulis muda ini menceritakan kepada transkriptor bahwa ia belajar menulis dari sebuah majalah di kampusnya. “Dengan jalan yang tidak lazim –karena memaksa – aku berhasil masuk dalam organisasi kemajalahan. Itu berarti satu langkah untuk mengenal dunia tulis menulis mulai terkuak. Sebab majalah akan menerbitkan tulisan. Dan menulis memerlukan bacaan yang banyak diserta pengamatan di lapangan yang jeli. Pilihan yang tampaknya sudah pas, sudah klop, sudah oke”. (hal 99)

Begitulah penulis muda itu menjalani kehidupan tulis menulisnya. Ia mengawalinya dari sebuah buku. Ia membangun kecintaannya pada kegiatan membaca. Ia relakan waktunya habis untuk membangun sebuah dunianya sendiri melalui bahan bacaan yang ada di dalam buku. Ia biarkan dirinya terbang ke dunia antah berantah yang diciptakan pikirannya sendiri saat ia membaca. Kemudian ia membangun sebuah kehidupan baru menjadi penulis. Ya menjadi penulis. Ia lakukan itu karena ia ingin menciptakan dunianya sendiri. Ia bosan dengan orang-orang yang menganggapnya aneh, kurang pergaulan dan lain sebagainya.

Dikehidupan selanjutnya di dunia tulis menulis, ia bersentuhan dengan Koran dan penerbitan buku. Di sana ia terus mengasah kemampuan menulisnya. Dalam sebuah perenungannya yang panjang. Ditemani “hantu” karl marx ia memunculkan sebuah manifesto untuk para penulis muda. Manifesto itu berbunyi “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus bekerja, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri cepat.”

Itulah dia, penulis muda bertalenta tewas di terjang sebuah bus pariwisata, ia hanya memiliki mimpi kecil, untuk terus membaca, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Satu lagi ia selalu terngiang pesan Pramudya Ananta Toer, Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah. (Rumah Kaca; hal 325). Kotabumi, 8 April 2009

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat