Seputar Sinetron

Mungkin tulisan ini bukanlah tulisan pertama yang mengangkat tema tentang sinetron Indonesia. Sudah sejak lama saya ingin menuliskannya, namun baru kali ini pikiran dan tangan ini sejalan untuk menuliskannya.

Kemarin, saya (secara tidak sengaja) menyaksikan sebuah sinetron di sebuah stasiun televisi swasta, saya memang tidak menyukai acara sinetron apapun bentuknya. Karena menghabiskan energi ke tempat yang kurang produktif (menurut saya). Selesai shalat magrib saya duduk sebentar di depan televisi dan ikut menyaksikan sinetron yang kerap di tonton orang tua saya. Alasan orang tua saya, “Cuma ini hiburannya.”

Dari sekitar semenit saya menyaksikan salah satu scene sinetron ini, saya semakin muak. Memang pemerannya saya akui cantik secara fisik. Acting biasa-biasa saja, namun yang membuat saya muak adalah isi dari cerita sinetron ini. Jika saya menarik benang merahnya, tema-tema yang diangkat hanya tentang “kebencian, iri, dengki, dan pendangkalan akidah.” Belum lagi pemeran anak-anak dalam sinetron ini mereka seperti mendapatkan “pendidikan gratis” tentang kebencian, dengki dan sifat-sifat buruk lainnya.

Dalam scene yang saya saksikan itu, seorang pemeran wanita, sedang “menghasut” seorang pemeran anak-anak (masih berusia sekitar 3 tahun) untuk membenci ibunya. Hanya karena kebencian si pemeran wanita kepada ibu si anak. Saya mencatat, efek negatif dari sinetron ini tidak hanya bagi pemirsa setia yang menyaksikan acara ini di rumah. Namun juga akan berimbas pada mental anak-anak yang menjadi pemeran anak-anak di sinetron ini. Karena secara tidak sadar, sutradara, penulis skenario dan orang-orang yang memiliki ide sinetron ini, telah memberikan pendidikan “kebencian” kepada anak-anak yang masih polos.

Dalam waktu yang lama ini akan menjadi referensi dalam hidupnya. Kejadian-kejadian saat ia kecil (termasuk di dalamnya peran dia di sinetron itu), akan mengendap dalam pikiran bawah sadarnya dan akan muncul saat ia dewasa. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang memandang “negatif “ lingkungannya. Hati dan pikirannya akan ditumbuhi benalu-benalu kebencian. Sejak kecil kita sebagai orang tuanya memupuki benalu agar tumbuh subur dalam pikiran anak-anak kita.

Saya hanya dapat menghimbau kepada orang-orang tua agar memberikan tontonan yang lebih edukatif kepada anak-anak kita. Kemudian kepada pekerja seni, film dan televisi agar secara sadar memperhatikan akibat buruk dari sinetron yang mereka produksi. Saya juga tahu bahwa mereka sedang mencari makan dengan produksi sinetron itu. Tapi apakah kita ingin mengorbankan masa depan anak-anak kita?

Ah.. bodoh kau bag, mereka semua itu mana peduli dengan ocehanmu.
Kotabumi, 20 April 2009

3 comments:

  1. Yah, sinetron kita memang hancur sehancur-hancurnya. Masalahnya, Production House-nya sendiri suka nolak naskah-naskah dengan tema berbeda dan mungkin akan bagus dan mendidik, dengan berbagai alasan. Hingga, sinetron yang tayang pun hanya itu-itu saja

    ReplyDelete
  2. Sepakat dengan pemikiran antum. Kebanyakan sinetron Indonesia ngga mendidik. Namun seingatku, dulu sewaktu masi kecil, ada sinetron Keluarga Cemara, dan pada waktu SMP (kalo ngga salah) ada sinetron Satu Kakak Tujuh Keponakan, yang menurutku keduanya sarat nilai-nilai moral. Aku suka keduanya, tapi sepertinya sekarang ini sinetron dengan genre seperti kurang laku di pasaran. Kalo dipikir-pikir, ini justru menunjukkan ada yang salah dengan masyarakat kita.
    Ada juga sinetron2 yang mengusung tema agama, tapi kok menurutku ngga lepas juga dari konflik dengki, benci, dan temen2nya. Mungkin penulis skenarionya kekurangan ide…atau barangkali idenya ditolak produser, atau barangkali ditolak rumah produksi gara-gara penonton lebih suka tema yang banyak benci2nya. Wedew…parah…parah…

    ReplyDelete
  3. sinetron indonesia itu sebenernyaa....kurang mendapatkan pengarahan..jadinya cuman komersil dan seneng2 aja isinya...coba kalau ada yg ngarahin... au ach: untung saya gak hobi...paling juga cuman sinetron soleha,cahaya,sama alisa hehe piss ^0^

    ReplyDelete

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat