Ini AKU, bukan KAMU, atau DIA

Hari ini, banyak sekali teman-temanku yang berjuang untuk mendapatkan satu kursi di jajaran 'abdi negara'. Hampir seluruh teman, yang telah lulus D3, S1 dan sederajat, hari ini berbondong-bondong menuju tempat ujian yang telah di tentukan. Hanya beberapa gelintir orang yang kebetulan 'tidak ada formasi' atau 'tidak punya ijazah', yang akhirnya tidak berangkat menuju lokasi ujian yang 2 hari lalu di pampang di koran-koran daerah.


aku, termasuk satu yang tidak ikut berangkat meramaikan lokasi-lokasi ujian.


Banyak orang yang bertanya kepadaku, 'ikut tes CPNS?' atau 'ambil di mana?' dan beberapa pertanyaan sejenis. ku katakan, 'aku gak ikutan'. Pertanyaan selanjutnya sudah bisa ku tebak, "kenapa?" Ku katakan, 'Tidak tertarik." Bagi mereka yang sudah mengetahui kegiatan harianku, mereka mengomentari, 'ya, usaha jalan, PNS juga jalan.' Masuk akal juga.


Aku mencatat, sejak aku tamat kuliah -di tahun 2008- setidaknya sudah 3 kali tes CPNS baik daerah maupun pusat yang ku lewatkan. di samping itu juga, aku sudah melewatkan beberapa lowongan pekerjaan di beberapa perusahaan besar dan BUMN. ku lihat, teman-teman seangkatanku sudah mempunyai jabatan yang lumayan di perusahaan bonafid, di BUMN, punya gaji yang besar, dan bisa 'nikah' dengan wanita pilihannya.


Aku? aku masih di sini, membangun mimpi yang -absurd- menurut sebagian besar orang, tidak masuk akal bagi -hampir- seluruh keluarga besar ibuku, dan aneh. Kenapa? mereka menjawab, "kamu kan, sarjana, teknik lagi, dari kampus besar lagi, pinter, berprestasi, apa lagi?"



Bahkan kakak iparku yang bisa di bilang -pengusaha sukses- heran, melihatku dari sebuah kota besar dengan banyak peluang, dengan titel sarjana teknik dari kampus terkemuka, pulang kampung. Pulang ke daerah yang sangat sulit untuk diharapkan untuk maju. Seharusnya, kata beliau, aku sudah memiliki posisi yang cukup lumayan di sebuah perusahaan besar, bukan berpeluh keringat, bermandikan terik mentari, kadang kedinginan di terpa hujan, bukan.



sering ku katakan, "Bukankah kita hidup untuk bahagia?", aku yakin mereka yang di tanya pasti akan menjawab satu kata singkat, "Ya."



dan ku katakan, "Hari ini, aku sangat bahagia, menjalani kehidupanku saat ini."
apakah, jawaban ini tidak cukup, kawan...?



Terkadang kita, Terlalu panik dengan masa depan membuat kita tidak lagi ingat bahwa kita harus menikmati masa sekarang. (debu terbang)

1 comment:

  1. setuju, sering kita terlalu menyesali hari kemarin, terlalu takut akan hari besok sampai lupa kalau hari ini juga patut untuk disyukuri

    ReplyDelete

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat