Belajar Mendengar Lebih Dalam

Pelajaran pertama dan merupakan pelajaran yang paling penting bagi seorang pemimpin adalah pelajaran “mendengar.” Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mendengar lebih dalam dari pada orang-orang biasa. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin akan semakin jauh dan ditinggalkan oleh orang yang dipimpinnya.

Ada sebuah kisah dari sebuah negeri di antah berantah. Negeri ini memiliki seorang Raja yang bijak. Raja ini memiliki seorang anak tunggal laki-laki. Ia akan menjadikan anak tunggalnya ini menjadi orang yang akan menggantikan posisinya sebagai raja kelak. Namun sebelum itu terjadi, ia hendak mempersiapkan si anak terlebih dahulu. Si anak dikirimkan kepada seorang guru untuk dididik menjadi seorang pemimpin masa depan.

Di hari yang telah ditentukan, si anak berangkat menuju rumah sang guru. Rumah sederhana dipinggiran kota, di situlah sang guru tinggal melalui hari-harinya. Si anak memulai hari-harinya menuntut ilmu. Pelajaran yang pertama sekali ia terima adalah ia harus belajar mendengar. Sejak pagi hingga malam ia harus duduk di tengah-tengah hutan, tugasnya adalah ia harus mendengarkan suara-suara yang ada di hutan itu.

Hari pertama dimulai dan di sore harinya ia berlari menuju rumah sang guru, ia yakin sudah mampu mendengar. Ia mengatakan sudah mampu mendengar suara dari kera yang ada dipohon, suara burung-burung di dahan-dahan yang tinggi, dan suara hewan yang lain. Jawaban singkat dari sang guru, “Kau belum mampu mendengar, anakku.” Berangkatlah si anak raja kembali ke hutan tempat ia belajar mendengar.

Kali ini ia berusaha dengan keras untuk mampu mendengarkan lebih dalam, bukan suara-suara yang kemarin. Kali ini ia lebih lama di hutan itu sampai suatu hari ia kembali dan berkata kepada gurunya bahwa ia sudah mampu mendengar dengan baik. Ia mampu mendengar suara daun yang jatuh dari rating. Sayangnya jawaban yang sama ia dapatkan dari gurunya, “Kau belum mampu mendengar, anakku.” Kembalilah si pangeran ke hutan melanjutkan usahanya belajar mendengar.

Ia bertekad untuk tidak gagal kali ini. Ia semakin lama di dalam hutan dan semakin keras berusaha mendengarkan apapun yang terjadi di sekitarnya. Kali ini ia mampu mendengar suara air embun yang jatuh mengenai daun, suara bunga yang mulai merekah, suara dahan yang tumbuh dan lain-lain. Ia kembali dengan keyakinan ia sudah mampu mendengar. Lagi-lagi gurunya menggelengkan kepala dan berkata, “Kau belum mampu mendengar, anakku.”

Selanjutnya sang guru memberikan penjelasan, mengapa ia mengatakan bahwa sang pangeran belum mampu mendengar dengan baik. Sang guru berkata bahwa ada suara-suara yang kadang tidak terdengar dari balik tembok istana. “Suara itu adalah suara keluh kesah dari rakyatmu, suara kesulitan dari hati rakyatmu, suara rintihan, suara perut yang kelaparan dari rakyatmu, mampukan engkau mendengarkan suara itu anakku?” Begitu penjelasan sang guru. pangeran hanya menunduk diam, menyimpan kata-kata itu dalam hatinya. Pulanglah pangeran ke Istana dan menjadi raja menggantikan posisi ayahnya yang sudah tua.

Ia benar-benar menjalankan nasehat gurunya, hasilnya ia menjadi pemimpin yang mampu menyenangkan banyak orang. Itu semua terjadi karena ia benar-benar memfungsikan kedua telinganya untuk lebih banyak mendengar daripada satu mulutnya untuk memerintah. Ia mampu menjadi pendengar yang baik dari suara-suara rakyatnya.

Pemimpin yang mampu mendengar ini yang dicari oleh banyak orang. Di lingkungan kita banyak pemimpin tapi tidak semuanya adalah pemimpin yang mampu menjadi pendengar yang baik. Pemimpin yang ada disekitar kita sekarang adalah pemimpin dengan tipe ingin “didengar” ketimbang mendengar. Banyak kasus yang membuktikan jika pemimpin kita ini memiliki kemampuan mendengar yang rendah. Suara-suara arus bawah tidak mampu ia dengar, ia lebih mementingkan suaranya sendiri dan menjalankannya. Pemimpin semacam ini lambat laun akan ditinggalkan sama sekali oleh rakyat yang dipimpinnya.

Mungkin itulah hikmah mengapa Tuhan memberikan kita dua telinga dan satu mulut, yaitu agar kita lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Dalam konteks yang lebih luas sebagai pemimpin sebuah organisasi, departemen, daerah, negara, kemampuan “mendengar” adalah syarat utama sebagai seorang pemimpin.

Saya pernah menjumpai sekelompok mahasiswa sedang sibuk menentukan pemimpin di antara mereka. Mereka terbentur karena ada seorang dari mereka sangat ngotot untuk menjadi ketua. Sedangkan teman-temannya tidak menginginkannya. Saya mencoba untuk menanyakan apa masalahnya jika ‘dia’ menjadi ketuanya. Jawabannya seragam, dia otoriter, tidak mau mendengarkan pendapat anggota yang lain, tahu sedikit seperti sudah tahu semuanya, dan banyak alasan lain yang muaranya ‘dia’ memiliki kemampuan mendengar yang rendah.

Itulah sebabnya saya menuliskan bahwa pelajaran pertama dan paling utama untuk seorang pemimpin sebelum ia belajar memanajemen adalah pelajaran tentang mendengar. Mendengarkan suara-suara dari bawah yang kadang tidak terdengar dari balik tembok “istana.” Kalau sekiranya semua pemimpin mampu melakukan ini ia akan disukai orang-orang yang dipimpinnya, disegani musuh-musuhnya dan ia akan dimudahkan urusannya.

Semoga saja, banyak yang mampu bercermin dari kisah si pangeran, yang sebelum memangku jabatan sebagai raja ia belajar mendengar terlebih dahulu. Begitu juga setiap diri kita yang ingin menjadi pemimpin, atau sudah menjadi pemimpin tanyakan pada diri kita sudahkah kita memiliki kemampuan mendengar yang baik. Jika belum, tidak ada salahnya jika kita belajar untuk mendengar, dan belajar menjadi pendengar yang baik buat semua orang. Semoga.

Medan 12 November 2006
*) penulis adalah mahasiswa Teknik Industri USU ‘03,
Sek-Jend Senat Mahasiswa Fakultas Teknik USU 2006-2007

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat