Medan Keseharian part 1

Matahari baru saja meninggalkan sisi barat bumi. Tersisa hanya cahaya jingga di cakrawala. Aku berdiri di sini, tepi jalan Iskandar Muda, Medan. Aku menunggu sebuah angkot bernomor “67” yang akan membawaku kembali ke rumah. Selain angkot 67, ada juga angkot 36, hanya saja angkot ini agak lama munculnya.

Di kejauhan terlihat si 67 mendekat. Kulambaikan tangan kanan, mengapa tangan kanan? Sebuah pengalaman di padang, saat ku menyetop angkot dengan tangan kiri, angkot tidak mau berhenti. Awalnya aku tidak tahu, sampai akhirnya ada satu angkot yang berhenti dan supirnya berkata, “lain kali pakai tangan kanan.” Ternyata masih ada budaya baik yang masih di pertahankan. Itulah sebabnya hingga saat ini ku usahakan untuk menghormati supir angkot dengan melambaikan tangan kanan saat aku memerlukan jasanya. Walau aku tahu bahwa si supir tidak akan peduli dengan tangan apa kita menyetopnya. Tapi, aku berkeyakinan bahwa setiap orang berhak untuk dihormati. Salah satunya supir angkot ini.

“Lapan, anam, lapan anam” terdengar supir angkot memerintahkan penumpang yang ada di belakang untuk bergesr, memberi ruang bagi penumpang yang baru masuk ini.
“Lapan, anam” adalah singkatan dari delapan dan enam. Maksudnya adalah si supir meminta penumpangnya untuk mengisi bangku penumpang dengan jumlah 8 orang untuk sisi sebelah kanan dan enam orang untuk sisi sebelah kiri. Jumlah itu sepertinya dipaksakan. Jumlah yang ideal adalah tujuh orang untuk sisi kanan dan lima orang untuk sisi sebelah kiri. Demi yang namanya “setoran” kadang supir angkot di Medan tidak peduli dengan kesulitan yang dihadapi penumpangnya. Mungkin dalam benaknya, “Kalau tak suka turun, banyak lagi yang lain.”

Jika “sewa” banyak, biasanya supir-supir angkot ini agak sedikit jual mahal. Kadang mereka lupa bahwa tak selama sewa banyak. Memang mereka tidak pernah mendapatkan kuliah atau pelatihan tentang bagaimana memberikan “pelayanan terbaik” kepada pelanggannya. Pelayanan terbaik ini diberikan agar pelanggan tidak lari ke pesaing kita. Ya… mereka tidak peduli dengan yang namanya pelayanan. Toh masyarakat tidak memiliki pilihan lain jika mereka tidak puas dengan pelayanannya.

Kondisi di Medan memang agak sedikit berbeda dengan apa yang pernah kualami di Padang atau di Lampung. Perbedaan itu adalah soal pelayanan tadi. Walau tidak memberikan pelayanan terbaik, angkot-angkot di Padang atau Lampung sepertinya sadar dengan yang namanya pelayanan. Anda akan mendapati angkot dengan perangkat sound system yang “supergila” dengan aksesoris mentereng di dalam dan diluar. Kadang tidak jarang kita mendapati angkot yang dimodifikasi seperti mobil sport.

“Lapan, anam, lapan anam” kembali supir berteriak dari balik kemudi, membuyarkan lamunanku. Seorang perempuan dengan tubuh agak besar, duduk tepat disebelahku. Sebenarnya akupun sudah kesempitan, karena jumlah orang di sisi kiri baru 5 orang, maka si supir tak mau tahu dengan penderitaanku. Apalagi si perempuan main banting pantat aja, tanpa peduli dengan luas daerah yang akan di dudukinya. Akibatnya sebagian tubuhku terhimpit dan dengan sangat terpaksa aku menggeser kakiku.
Kembali lamunanku terbang ke Padang dan Lampung. Tentang angkot yang mentereng dengan suara musik yang menghentak, kadang agak berlebihan. Dengan penampilan yang eksotis. Berbeda dengan angkot di Medan yang sepertinya sudah tak layak jalan. Tak pernah di “mandi”kan, gak sempat mungkin. Tapi entahlah, toh masyarakat tak punya pilihan lain.

Lampu-lampu jalan sudah mulai hidup. Malam menjelang, angkot memasuki Jalan Dr Mansur Kampus USU, artinya aku akan turun dan akan segera berakhir penderitaan di dalam angkot yang tidak mengenal yang namanya “kepuasan pelanggan”.
“Cukup deh, lain kali naek sepeda aja.” Gerutuku dalam hati sambil membayar ongkos. (Medan, 7 Januari 2009)

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat