Medan Keseharian part 2

Selepas magrib aku berangkat ke tempat temanku. Sebuah daerah di tenggara Medan yang biasa disebut sebagai “menteng” atau Medan Tenggara. Biasanya, untuk mencapai daerah menteng ini, diperlukan waktu sekitar 30-40 menit dari kampus. Malam ini aku memperkirakan, kalau aku berangkat habis magrib (sekitar pukul 19.00) maka paling lambat aku akan sampai pukul 19.45 (azan isya). Aku ada janji selepas isya akan memberikan sedikit taujih untuk remaja masjid di dekat kediaman temanku itu.

Angkot yang menuju menteng dari kampus USU, hanya mitra 63. Selain itu tidak ada. Tak lama menunggu lewatlah si 63, aku naik. Sayangnya, laju kendaraan ini sangat lambat. Lambat sekali. Kuperhitungkan bahwa aku tidak akan mencapai Menteng tepat waktu. Luarbiasa, angkot ini benar-benar lambat. Tidak seperti angkot lain di Medan yang seperti tidak kenal lelah menekan pedal gas. Namun, yang satu ini benar-benar lambat. Aku terus menggerutu di dalam hati, “Habis kita terlambat.”

Kulihat supir di balik kemudi, sudah tua. Aku ber-positive thinking, mungkin beliau sudah rabun jadi pelan-pelan. Saat ku lihat jalan yang terang oleh penerangan jalan, beliau tetap keukeh untuk tetap lambat. Aku makin gondok. Kredibilitasku bakal rusak gara-gara angkot lambat ini.

Sambil terus memperhatikan jalan, aku teringat sebuah cerita dari temanku Ihsan, “Di antara angkot-angkot 63, ada yang luarbiasa lambatnya. Aku aja pernah terlambat kuliah gara-gara angkot itu.” Cerita ihsan waktu itu.

“Aku rela nunggu angkot 63 yang laen kalo si ‘lambat’ itu lewat.” Lanjut Ihsan.
Aku hanya tersenyum mengingat itu semua, mungkin ini angkot yang diceritakan Ihsan. Ah…naas aku hari ini.

Lebih menyakitkan lagi, perlajalanan yang tersisa 1/3 lagi, supir angkot lambat ini memintaku untuk turun. Karena sudah malam dan aku penumpang terakhir yang masih tersisa. Alasan ia mau pulang. “Naik motor yang di belakang aja.” Begitu kata supir lambat itu. Lengkap penderitaanku hari ini. Aku hanya mengelus dada, sabar mas… sabar. Mungkin ini sedikit ujian hari ini. Seperti ceritaku sebelumnya, supir angkot memang tak pernah mendapatkan kuliah tentang, kepuasan pelanggan, costumer satisfaction, pemasaran jasa, apalagi kuliah tentang menjaga loyalitas pelanggan.
Aku naik angkot yang lain, sementara azan sudah mulai berkumandang. Aku berharap agar aku dapat sampai di masjid tepat sebelum sholat jamaah berakhir. Sayangnya harapanku tak terjadi, aku terlambat mendapatkan sholat berjamaah, tapi aku tidak terlambat untuk hadir di majelis.

Pesan moralnya, “laen kali jangan naek angkot, naek motor aja.”
(Medan, 09-01-09, 23.18 WIB)

1 comment:

  1. baru tahu kalau keoanjangan Menteng itu Medan Tenggara. Padahal saya anak Medan asli

    ReplyDelete

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat