FENOMENA UJIAN NASIONAL

Hanya tersisa waktu sekitar tiga minggu lagi dari hari ini (Sabtu, 28 Maret 2009), siswa-siswa SMA akan menghadapi pertarungan besar mereka. Sepertinya hidup mati mereka di pertaruhkan di sini. Sepertinya semuanya akan berakhir atau berawal dari Ujian Nasional ini. Jika lulus maka itu menjadi awal kehidupan selanjutnya (pendidikan), jika gagal maka itu juga dapat berarti bagi kehidupan pendidikan mereka. Sehingga UN ini selalu menjadi momok yang menakutkan bagi setiap siswa SMA dimana saja. Tidak hanya siswa yang ketakutan, pihak guru, kepala sekolah dan pejabat di dinas pendidikan pun menjadi ketakutan pula. Mengapa? Karena mereka (baca: guru, kepala sekolah, pejabat dinas pendidikan) tidak mau di “cap” gagal oleh atasannya jika ada siswa SMA di sekolah atau daerah yang menjadi tanggung jawabnya tidak lulus (baik banyak atau sedikit).

Memang kondisi ini memaksa siswa, guru, kepala sekolah dan seluruh perangkat pendidikan menengah atas di suatu daerah untuk berpikir keras agar seluruh anak didiknya lulus dengan nilai baik (baca: lulu). Namun, sangat disayangkan ketika kondisi “kompetisi” ini diciptakan pemerintah pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan, justru ada sebagian oknum yang menghalalkan berbagai cara agar sekolahnya, atau daerahnya mendapat ancungan jempol karena seluruh siswanya lulus (100 %). Bagi kita yang biasa di dunia industri, untuk mencapai angka 100 % produk tanpa cacat ( zero defect) adalah suatu yang hampir mustahil. Sangat sulit mencapai angka itu, paling tidak mendekati angka 100 %.

Saat di dunia pendidikan selalu mencapai 100% lulus, tentunya ada sedikit pertanyaan, apa benar bahwa seluruh siswa itu mampu mengerjakan soal itu dengan benar. Untuk sekolah-sekolah yang memang berkualitas, mulai dari seleksi penerimaan, guru, bahan ajar dan perangkatnya memang berkualitas adalah hal yang wajar jika 100 % siswanya lulus. Karena mereka (baca: siswa) sejak awal sudah diberikan sesuatu yang berkualitas, mulai dari kualitas input dan kualitas proses, sehingga outputnya berkualitas. Dan untuk mencapai angka zaro defect itu juga sulit, karena yang kita olah/ produksi ini adalah manusia bukan barang. Lalu, bagaimana dengan sekolah yang “maaf” kurang atau tidak berkualitas. Kalau dalam bahasa seorang guru saya adalah sekolah 24, sekolah yang masuknya jam 2 siang dan keluarnya jam 4 sore. Kita sama-sama tahu kualitas input maupun kualitas prosesnya. Ajaibnya, sekolah-sekolah inipun 100 % lulus, zero defect. Luarbiasa!

Selidik punya selidik, menurut pengakuan guru-guru yang berdedikasi terhadap pendidikan berkualitas, saya mendapatkan bahwa kondisi ini (100% lulus) ini sudah menjadi kesepakatan para “oknum guru” guna mencapai angka 100 %. Mereka malu jika ada anak didiknya yang tidak lulus. Jadi, mereka “membantu” siswa dengan memberikan jawaban atas ujian nasional yang sedang berjalan. Pada saat penyelenggaraan ujian nasional, malamnya soal dibocorkan, kemudian diberikan kepada guru-guru bidang studi untuk mengerjakannya. Keesokan harinya lembar jawaban itu (yang telah diisi oleh guru bidang studi), diedarkan ke kelas-kelas yang sedang menjalani ujian nasional. Betapa menyedihkan.

Ada kejadian yang menggelikan, pernah disebuah sekolah, seorang guru yang bertugas menyebarkan lembar jawaban yang telah disi tadi, salah memberikan lembar jawaban. Akibatnya ada 7 orang yang tidak lulus di kelas tersebut. Maksudnya salah ini, guru tadi, memberikan jawaban Matematika IPS di kelas IPA.

Para oknum guru ini telah salah dalam mengartikan kata-kata “MEMBANTU SISWA” mengapa? Karena jika mereka ingin membantu siswa, proses membantu itu bukan di kelas saat ujian berlangsung. Tapi di kelas saat belajar sedang berlangsung. Membantu memberikan motivasi terus menerus, membantu bagaimana mengerjakan soal-soal yang sulit, membantu mengatasi masalah pribadinya (kejiwaannya yang tertekan), membantu mengatasi hambatan-hambatan belajar, dan intinya membantu siswa sebelum ujian berlangsung. Saat ujian berlangsung, maka biarkan mereka bekerja sendiri. Jika kita masih membantunya, maka kita telah MEMBUNUH siswa itu sendiri. Kalaupun mereka lulus, mereka hanya akan menjadi siswa-siswa yang selalu mengharapkan belas kasihan orang lain. Mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya tidak pernah dipakai oleh orang lain.

Pengalaman ini telah diceritakan siswa-siswa yang telah masuk ke perguruan tinggi. Kebanyakan mereka yang lulus dengan usaha sendiri akan bercerita kepada guru-gurunya dengan mengatakan “Terima kasih pak/bu, telah membantu kami dalam belajar sehingga kami menjadi percaya diri.” Di kampusnya mereka tetap berprestasi. Lain halnya dengan siswa-siswa yang lulus dengan “bantuan” tadi, mereka akan masuk universitas negeri namun tidak akan bertahan lama, paling lama adalah satu semester. Setelah itu mereka pindah ke universitas swasta, dan hingga semester 12 belum tamat juga.

Seperti kata pepatah, “Biarkan waktu yang akan menjawab ini semua.” Apa akibat saat kita berbuat curang dan apa akibat saat kita berbuat jujur. Waktu yang akan menjawabnya. Percayalah.

Kotabumi, Sabtu, 28 Maret 2009

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat