Ramayana, Indomaret, Alfamart

Sekitar bulan Desember 2008 sebuah plaza (Kotabumi Plaza) Ramayana dibuka di kota kecilku. Aku tidak tahu bagaimana studi kelayakan yang mereka buat sehingga mereka dengan sangat yakin membuka sebuah plaza di kota kecil ini. Ada banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari daya beli, jumlah penduduk, dan budaya masyarakatnya dalam membuat sebuah feasibility study. Aku juga tidak dapat menjustifikasi bahwa studi kelayakan yang telah dibuat itu salah, mereka itu orang-orang pintar dan berpengalaman.

Namun, aku yang mengalami kehidupan di kota kecil ini selama lebih dari 20 tahun, memiliki sebuah perhitungan sendiri. Bahwa penduduk di kota ini kurang memiliki inisiatif. Kalaupun ada mereka akan pindah ke daerah lain yang lebih memiliki inisiatif. Apa hubungannya, mungkin masyarakat kurang memiliki inisiatif untuk melangkahkan kakinya ke sebuah plaza yang agak jauh dari rumahnya, walau plaza itu cukup nyaman. Mereka lebih memilih toko yang ada di dekat rumah mereka.

Masalah Ramayana semakin rumit saat Indomaret dan Alfamart merusak pasaran. Tidak hanya merusak pedagang-pedagang kecil yang ada di dekatnya, tapi juga merusak pasaran Ramayana sendiri. Setelah mereka menghadapi penduduk yang tidak berinisiatif, mereka harus melawan gempuran Alfa dan Indomaret yang gerainya ada di mana-mana.

Aku tidak tahu, strategi apalagi yang digunakan oleh manajemen Ramayana Kotabumi untuk mengatasi kesulitan ini, karena aku melihat, hari ini, Ramayana telah kehilangan hampir dari 80 % pembelinya. Karyawannya telah disusutkan hingga 50 % dibanding awal mereka berdiri. Belum lagi investasi yang belum kembali, karena BEP dari retail besar seperti Ramayana ini akan memakan waktu yang sedikit lama dibanding toko-toko kecil.

Aku seperti melihat Ramayana Kotabumi ini seperti Ramayana Juanda Medan. Mereka akhirnya tutup dan gedungnya di jual kepada Ace Hardware. Padahal lokasi juanda itu termasuk lokasi emas. Buktinya Ace Hardware justru sekarang sangat ramai.

Strategi pemasaran yang digunakan Ramayana, lebih pada penetrasi pasar dengan memberi harga yang telah didiskon besar-besaran. Masyarakat yang semakin terdidik saat ini mulai jengah dengan diskon, karena mereka berpikir, harga sebelumnya telah dinaikkan kemudian di diskon tinggi. Si Ramayana tetap untung dengan itu semua. Kemudian istilah “cuci gudang” juga tidak lagi menarik bagi masyarakat, mereka menganggap bahwa produk yang ditawarkan tersebut kurang berkualitas hingga tidak laku dipasaran.

Kita lihat saja, berapa lama lagi Ramayana Kotabumi akan bertahan, jika mereka tidak mengubah strategi pemasarannya, mereka akan bernasib sama seperti saudaranya di Juanda Medan, tutup.

Kotabumi, Sabtu, 28 Maret 2009

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat