(Sekedar) Jadi Pegawai

Setidaknya saya sudah di rumah selama satu minggu. Dalam beberapa hari ini, saya lebih banyak membuka mata dan telinga saya. Hal ini terkait dengan keinginan saya mengembangkan beberapa jenis usaha di kampung saya ini. Tentunya saya harus melakukan survey yang mendalam sebelum akhirnya menentukan jenis bisnis yang akan saya kembangkan.


Pada awalnya, memang saya mendapatkan banyak pertentangan dari beberapa orang teman (baca tulisan saya tentang Pernyataan Negatif di www.boemikoo.blogspot.com). Secara kasar saya sudah mengetahui sifat atau budaya yang berkembang di tengah masyarakat kampung saya ini. Termasuk jenis pekerjaan yang paling banyak digeluti. Dari seminggu waktu yang saya gunakan untuk melakukan survey, saya mendapatkan beberapa hasil yang mengarahkan kepada kesimpulan awal.



Budaya yang ada pada masyarakat, terkait masalah pekerjaan yang dipilih, saya mendapatkan bahwa masyarakat sebagian besar menganggap bahwa menjadi pegawai adalah sebuah prestise. Yang dimaksud dengan pegawai ini adalah pekerja di kantor-kantor pemerintah. Mereka tidak peduli apakah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau hanya sekedar tenaga honorer. Padahal, jika kita lihat seberapa besar sebenarnya “GAJI” yang mereka (tenaga honorer) dapatkan ketika bekerja di kantor pemerintah daerah ini? Tidak besar, bahkan mungkin tidak layak dijadikan pegangan hidup. Anda tahu? Ya, hanya Rp. 250.000 perbulan.


Kembali lagi, bahwa masyarakat lebih melihat kepada “prestise” daripada pendapatan atau kelayakan hidup yang sepantasnya. Makanya tidak jarang kita menemukan banyak orang yang berusaha menjadi PNS dengan berbagai macam cara mulai dari menggunakan ‘joki’ hingga berani membayar hingga ratusan juta agar menjadi pegawai negeri sipil. Mereka melihat bahwa menjadi pegawai negeri sipil-lah satu-satunya pekerjaan yang dapat menjamin kesejahteraan mereka.


Hal ini juga terkait dengan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat pula. Bahwa, mereka mengharapkan dengan kerja yang sedikit mendapatkan penghasilan yang tinggi. Pekerjaan tanpa harus membanting tulang, tanpa perlu berpikir keras dan sebagainya, namun pendapatannya tetap. Masuk atau tidak ke kantor, penghasilannya tetap. Hal ini wajar, karena memang sebagian besar kita tidak memiliki konsep diri yang jelas (baca tulisan saya tentang konsep diri). Sehingga apa-apa yang ‘terlihat’ menguntungkan, maka hal tersebutlah yang akhirnya kita pilih.


Kemarin saya berdiskusi dengan seorang “penjual” siomay. Pekerjaannya keliling kampung, menjajakan siomay buatannya. Kita mungkin sudah mengenal dengan baik, jika kita mendengar suara kentongan kecil yang dipukul, itulah tanda penjual siomay datang. Saya bertanya, apakah siomay ini dia yang buat? Penjual ini mengatakan ‘ya’, ia juga menceritakan bahwa ia memiliki 3 gerobak, satu dia yang membawa dan yang dua lagi dia mempekerjakan 2 orang lainnya. Selanjutnya saya bertanya, dalam sehari berapa banyak siomay yang berhasil dia jual? Abang ini menjawab, “sekitar 400-450 butir siomay”.


Pikiran saya langsung berputar, 400-450 butir, jika sebutirnya dihargai Rp. 500, maka omzet dalam sehari adalah sebesar Rp 200.000-Rp 225.000. Katakanlah keuntungan bersih dalam sehari sebesar Rp. 100.000, maka dalam sebulan, penjual siomay ini berpendapatan bersih Rp. 3.000.000. TIGA JUTA RUPIAH. Dua belas kali lipat dari pendapatan sebagai “pegawai honorer”.


Satu lagi budaya yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa semakin besar “sogokan” yang mereka berikan, hal ini menunjukkan “status sosial” yang tinggi di tengah masyarakat. Wajar akhirnya mereka berlomba-lomba untuk masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil guna mendapatkan prestise dan pendapatan yang ‘lumayan’ tanpa harus bekerja keras. Di tambah lagi, siapa saja yang memberikan uang pelicin tertinggi, maka mereka adalah orang-orang dengan status sosial yang tinggi. Sehingga dapat diketahui hasilnya, yaitu sesuatu yang sangat masuk akan dan wajar jika daerah ini lambat sekali perkembangannya. Karena daerah ini diisi oleh orang-orang yang tidak mau bekerja keras.


Sebuah semboyan, “kalo belum jadi pegawai (baik PNS atau honorer), artinya belum dikatakan memiliki pekerjaan.” Seperti saya hari ini yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penulis, bagi mereka (masyarakat) saya hanya pengangguran. Kalaupun saat ini saya memiliki jabatan sebagai “Direktur” WWW.SUPERGILA.COM Lampung, bagi mereka, pekerjaan itu adalah pergi pagi ke kantor, pulang siang dari kantor. Sedangkan pekerjaan saya ini kantornya di rumah, sesekali melakukan perjalanan untuk memberikan motivasi, pelatihan dan konseling ke beberapa tempat. Ini bukan pekerjaan yang mereka maksud. Saya mendapat tantangan besar guna membantu masyarakat untuk mengubah mind set mereka untuk lebih “GILA”. Semoga. (Kotabumi, 18 Maret 2009)

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat