Pandangi Langit


Pernahkah anda mencoba untuk sekali waktu mendongakkan kepala, membentangkan tangan anda, menarik udara dalam-dalam, dan menatap birunya langit di pagi atau sore hari? Sangat mengasyikkan bukan?
Ada sebuah terapi bagi kita yang memiliki kebiasaan untuk “marah-marah” atau sangat emosional. Terapi itu adalah saat emosi sedang memuncak dan ingin marah besar, marah saja, namun, pandangan anda jangan ke bawah, atau ke depan tetapi ke atas. Padanglah langit atau langit-langit ruangan kita. Dengan sendirinya amarah yang memuncak itu akan sedikit demi sedikit akan terkurangi. Bahkan kita mungkin akan tertawa dengan apa yang kita lakukan itu.
Mungkin ini juga yang menjadi sebab, jika kita sedang menjalani terapi psikologi, kita akan diminta untuk duduk dikursi yang mengharuskan kita untuk melihat langit-langit. Bagi kita yang tidak pernah terapi kejiwaan, ada baiknya juga kita perhatikan film-film yang ada adegan terapi kejiwaan. Kursi yang digunakan untuk terapi itu bukan tempat tidur, namun untuk kursi, sandarannya sangat landai dan dudukannya lebih panjang. Jadi kita dapat selonjoran di kursi itu. Sambil menyandarkan kepala kita disandarannya, kita akan berada pada posisi setengah tidur, satu setengah duduk.
Untuk itu untuk menenangkan jiwa yang gundah gulana, untuk mengurangi beban dalam jiwa ini, untuk memperluas pikiran dan jiwa, ada baiknya kita membiasakan untuk menyempatkan waktu untuk memandangai langit pagi dan sore hari. Atau jika saat hari cerah, tidak ada salahnya jika kita juga sempat memandangi langit malam hari. Bayangkan betapa luasnya langit, seperti itulah kasih sayang Tuhan pada kita, seluas langit dan bumi. Dengan adanya kesadaran jiwa tentang luasnya kasih sayang Tuhan, maka akan muncul kepercayaan diri kita. Karena, kita percaya bahwa kita tidak sendirian ada Dia bersama dalam langkah-langkah kita.
Pandangi langit.
Salam Hangat
Bag Kinantan, ST
Trainer Supergila Learning and Therapy Center

SI ANAK KECIL DAN KEYAKINANNYA


Sabtu ini seperti sabtu yang lain, hari yang melelahkan. Hari ini memang dialokasikan untuk kegiatan praktikum di lab. Otomatis seharian sekitar 8 jam akan ku habiskan di lab. Bersama teman-teman asisten yang lain, kami sedang mempersiapkan lab untuk sebuah pemeriksaaan rutin. Ah… melelahkan. Dan jarang orang mau berlelah-lelah jika hanya lelah saja tanpa uang lelah. Sudah susah mencari orang-orang yang mau mengeluarkan tenaganya gratis, dan akupun berpikir untuk sekedar menyenangkan hati mereka dengan sekedar mengajak mereka untuk minum.

Hari sudah magrib saat kami meninggalkan lab. Kami adalah orang terakhir dikampus ini. Seluruh pintu sudah dikunci, tinggal satu pintu masuk yang memang ada mahasiswa yang memegang kuncinya. Tak seperti biasanya iapun pulang cepat malam ini. Biasanya mereka di kampus sampai tengah malam.

Di sinilah cerita berlanjut. Kami berlima menuju masjid dakwah untuk sholat. Selesai sholat kami pergi ke sebuah rumah makan yang ada di pusat jajanan Dr Mansur. Di daerah ini ada 20-an café dengan menu yang berbeda satu sama lain. Kami pilih salah satu diantaranya. Kali ini menu utamanya adalah burger. Setelah dipesan dan menunggu pesanan datang aku menuju masjid yang terletak tepat di sebelah café ini. Sholat Isya. Sesampai di masjid dan hendak mengambil air wudu, ku jumpai wajah seorang anak kecil. “Inikan yang jualan kerupuk jangek tadi.”pikirku.

Terus terang aku begitu terenyuh saat ku temui ia di masjid ini. Untuk sholat Isya pula. Sholat yang sangat sulit dikerjakan oleh orang-orang munafik, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Ah.. luar biasa, dan ia sholat tepat di sebelahku. Ingin ku sapa dan ngobrol sedikit sekalian membeli produknya. Ku tunggu, ia masih duduk dalam doanya. Sangat khusuk dan penuh kepasrahan. Luar biasa, keadaan seperti ini yang menjadi jalan hidayah seorang bule untuk masuk Islam. Saat ia melihat begitu pasrah dan berserahnya seorang anak dalam doanya. Dan sekarang aku melihatnya, sungguh sebuah pengalaman batin yang luar biasa. Ku keluarkan uang di kantong celanaku. Maksudku hanya ingin membeli, tidak sekedar sedekah. Saat sedang memasukkan tangan ke kantong, salah seorang adik kelasku yang pergi bersamaku memasukkan uang ke kantong dagangan anak tadi. “Udah bang, yuk.” katanya kepadaku setelah ia masukkan uangnya. Ah.. kalah cepat aku. Ku tinggalkan mesjid, aku berharap kalau anak tadi datang ke kafe tempat aku makan dan ku niatkan untuk membeli kerupuknya.

Namun, sayang ia mengambil arah yang berlawanan dengan tempat aku makan. Seorang anak yang mungkin saja usianya sekitar 11-24 tahun, begitu yakin dan berserahnya ia dengan rejeki yang Allah berikan kepada manusia. Padahal, jika mengikuti nafsu, ia bisa saja meninggalkan sholatnya dan terus berdagang. Kemungkinan kerupuknya laku lebih besar karena waktunya lebih banyak untuk menjajakan produknya.

Namun, sekali lagi ia begitu yakin dan menyerahkan segalanya kepada Allah yang membagi rejeki. Ia begitu yakin bahwa rejekinya hari ini sudah ditentukan dan ia tinggal menjemputnya. Sebuah pelajaran akan keyakinan dan kekuatan keimanan, luar biasa.

Aku teringat akan pekerjaan “menjajakan” buku di sebuah pusat perbelanjaan HP di Medan. Saat itu aku bertindak sebagai seorang sales buku-buku keislaman. Besarnya upah yang ku terima adalah tergantung banyaknya buku yang berhasilku jual. Tidak banyak hanya 10 % dari harga buku yang berhasil ku jual. Di counter ini, ada 5 orang yang bertugas menjajakan buku. Tugas kami seperti sales lainnya, menawarkan buku, menjelaskan sejelas-jelasnya hingga ia membeli buku tersebut. Tentunya akan ada persaingan di antara kami berlima, karena penghasilan amat tergantung dari banyaknya buku yang terjual.

Namun, sebuah pelajaran akidah, bahwa Allah itu maha pemberi rejeki. Setiap orang sudah ditentukan rejekinya, sejauh mana ia berusaha untuk menjemput rejeki yang telah tertulis itu. Dan hal itu yang ku camkan, aku tidak perlu iri saat melihat teman-teman berhasil menjual hingga ratusan ribu sementara aku tidak berhasil menjual satupun. Anak tadi kembali membuka memoriku, sebuah pelajaran dasar tentang akidah, bahwa rejeki itu datang dari Allah, kita ditugaskan menjemputnya. Namun, kita jangan sampai meninggalkan kewajiban kita untuk beribadah kepada-Nya. Terimakasih adik kecil, engkau kembali membuka memori dan mengingatkanku, bahwa Allah senatiasa bersama orang-orang yang beriman dan bersungguh-sungguh. Terimakasih.

Medan, 11 November 2007

B - B = 0

Baru sekarang aku merasakan bahwa dengan Membaca membuat hidup ini lebih hidup, seperti mendapatkan energi yang tidak pernah kering, terus bersemangat, serasa ingin hidup selamanya. Setiap deretan kata-kata itu memiliki energi, dengan membaca kita menyerap energi itu ke dalam tubuh kita.

(Ibnu Adam Aviciena/ Penulis)

Ada hal yang menarik saat saya membaca rumusan di atas, “B – B =0.” Ada apa dengan formula ini, mengapa begitu menarik perhatian saya? Hampir disetiap sudut kampus USU ada spanduk yang berisi slogan ini (B-B = 0). Ada dua makna yang saya dapatkan dari rumusan ini. Secara denotatif, rumus ini adalah benar adanya. Dua variabel yang memiliki nilai sama, jika dikurangi hasilnya adalah nol. Sedangkan secara konotatif, rumusan ini memiliki makna yang cukup dalam. Dan saya mendapatkannya saat pameran buku di Fakultas MIPA USU. Maknanya adalah “Belajar tanpa Buku adalah Omong kosong.” Kalau boleh saya tambahkan, Buku tanpa Baca adalah Omong Kosong pula. Rumusan ini harusnya ditulis di setiap tempat guna mengingatkan anak-anak muda Indonesia untuk belajar, belajar dan belajar sepanjang hidup mereka.

Banyak orang yang pernah saya temui, ada yang senantiasa belajar, membaca, dan tidak sedikit yang malas belajar. Di antara mereka terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Seperti dua kondisi cerah dan mendung. Bagi yang senantiasa belajar “cerah” adalah kondisi yang akan mereka lewati dan “mendung” adalah kondisi untuk mereka yang “malas” belajar.

Belajar tidak hanya apa yang kita dapatkan di bangku sekolah. Banyak pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dalam kehidupan. “Universitas Kehidupan.” Untuk mereka yang terus belajar dari kehidupannya adalah orang yang terus tumbuh dan tumbuh. Pengetahuan baru akan terus mengalir ke dalam kepala mereka. Sedangkan untuk mereka yang malas, satu-persatu ilmu yang ada di kepala mereka akan rontok, berguguran seperti daun jati yang meranggas di musim panas. Sampai akhirnya ia habis dan mati.

Saya pernah mengikuti sebuah lembaga pelatihan, di dalamnya kami diharuskan untuk terus membaca dan membaca. Istilah itu kami sebut sebagai membangun referensi. Tidak hanya dinikmati sendiri, hasil membaca itu kami bagikan untuk teman-teman lain. Sharing pengetahuan di antara kami, saling mengisi dan ini akan membuat kita terus menjadi kaya akan pengetahuan. Akhirnya kita akan banyak memiliki amunisi dalam menjalani kehidupan.

Steven Covey mengatakan dalam bukunya bahwa, “proses membaca” kita hanya berlangsung selama kita berada pada jenjang pendidikan formal saja. Habis setelah masa pendidikan formal itu, maka habislah proses membaca kita. Sesaat setelah kita menerima STTB (Surat Tanda Tamat Belajar), maka “tamat”lah proses belajar dalam kehidupan kita. Kita seperti lepas dari penjara yang mengungkung kita dengan deretan kata-kata dan untaian rumus-rumus. Lanjut Steven Covey, kita lebih senang menonton televisi.

Banyak sekali keuntungan yang akan kita dapatkan dari membaca, kesemua itu mungkin tidak kita rasakan sekarang, tapi nanti akan kita rasakan betapa membaca itu akan banyak membantu kita. Akan banyak rumus atau jurus dalam menjalani kehidupan.

Kehancuran suatu bangsa dimulai ketika pemudanya berhenti belajar (membaca). Karena ke depan bangsa ini akan dibangun oleh orang-orang yang bingung harus berbuat apa. Pada akhirnya bangsa ini akan tenggelam, karam ditengah-tengah lautan persaingan global yang menuntut setiap bangsa untuk dapat bersaing, minimal mampu bertahan dalam kerasnya arus persaingan belakangan ini.

Hanya orang yang memiliki persiapan matanglah yang akan selamat dalam persaingan global. Bagi yang malas selamat tinggal.

*) Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri USU,

Anggota KAMMI USU

Medan, 14 Desember 2004.

Direvisi 3 Desember 2006