
sebuah usaha untuk menyimpan ingatan tentang perjalanan, tentang film, tentang buku yang pernah hadir mewarnai hidup kami...
Pandangi Langit

SI ANAK KECIL DAN KEYAKINANNYA

Sabtu ini seperti sabtu yang lain, hari yang melelahkan. Hari ini memang dialokasikan untuk kegiatan praktikum di lab. Otomatis seharian sekitar 8 jam akan ku habiskan di lab. Bersama teman-teman asisten yang lain, kami sedang mempersiapkan lab untuk sebuah pemeriksaaan rutin. Ah… melelahkan. Dan jarang orang mau berlelah-lelah jika hanya lelah saja tanpa uang lelah. Sudah susah mencari orang-orang yang mau mengeluarkan tenaganya gratis, dan akupun berpikir untuk sekedar menyenangkan hati mereka dengan sekedar mengajak mereka untuk minum.
Hari sudah magrib saat kami meninggalkan lab. Kami adalah orang terakhir dikampus ini. Seluruh pintu sudah dikunci, tinggal satu pintu masuk yang memang ada mahasiswa yang memegang kuncinya. Tak seperti biasanya iapun pulang cepat malam ini. Biasanya mereka di kampus sampai tengah malam.
Di sinilah cerita berlanjut. Kami berlima menuju masjid dakwah untuk sholat. Selesai sholat kami pergi ke sebuah rumah makan yang ada di pusat jajanan Dr Mansur. Di daerah ini ada 20-an café dengan menu yang berbeda satu sama lain. Kami pilih salah satu diantaranya. Kali ini menu utamanya adalah burger. Setelah dipesan dan menunggu pesanan datang aku menuju masjid yang terletak tepat di sebelah café ini. Sholat Isya. Sesampai di masjid dan hendak mengambil air wudu, ku jumpai wajah seorang anak kecil. “Inikan yang jualan kerupuk jangek tadi.”pikirku.
Terus terang aku begitu terenyuh saat ku temui ia di masjid ini. Untuk sholat Isya pula. Sholat yang sangat sulit dikerjakan oleh orang-orang munafik, seperti yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Ah.. luar biasa, dan ia sholat tepat di sebelahku. Ingin ku sapa dan ngobrol sedikit sekalian membeli produknya. Ku tunggu, ia masih duduk dalam doanya. Sangat khusuk dan penuh kepasrahan. Luar biasa, keadaan seperti ini yang menjadi jalan hidayah seorang bule untuk masuk Islam. Saat ia melihat begitu pasrah dan berserahnya seorang anak dalam doanya. Dan sekarang aku melihatnya, sungguh sebuah pengalaman batin yang luar biasa. Ku keluarkan uang di kantong celanaku. Maksudku hanya ingin membeli, tidak sekedar sedekah. Saat sedang memasukkan tangan ke kantong, salah seorang adik kelasku yang pergi bersamaku memasukkan uang ke kantong dagangan anak tadi. “Udah bang, yuk.” katanya kepadaku setelah ia masukkan uangnya. Ah.. kalah cepat aku. Ku tinggalkan mesjid, aku berharap kalau anak tadi datang ke kafe tempat aku makan dan ku niatkan untuk membeli kerupuknya.
Namun, sayang ia mengambil arah yang berlawanan dengan tempat aku makan. Seorang anak yang mungkin saja usianya sekitar 11-24 tahun, begitu yakin dan berserahnya ia dengan rejeki yang Allah berikan kepada manusia. Padahal, jika mengikuti nafsu, ia bisa saja meninggalkan sholatnya dan terus berdagang. Kemungkinan kerupuknya laku lebih besar karena waktunya lebih banyak untuk menjajakan produknya.
Namun, sekali lagi ia begitu yakin dan menyerahkan segalanya kepada Allah yang membagi rejeki. Ia begitu yakin bahwa rejekinya hari ini sudah ditentukan dan ia tinggal menjemputnya. Sebuah pelajaran akan keyakinan dan kekuatan keimanan, luar biasa.
Aku teringat akan pekerjaan “menjajakan” buku di sebuah pusat perbelanjaan HP di Medan. Saat itu aku bertindak sebagai seorang sales buku-buku keislaman. Besarnya upah yang ku terima adalah tergantung banyaknya buku yang berhasilku jual. Tidak banyak hanya 10 % dari harga buku yang berhasil ku jual. Di counter ini, ada 5 orang yang bertugas menjajakan buku. Tugas kami seperti sales lainnya, menawarkan buku, menjelaskan sejelas-jelasnya hingga ia membeli buku tersebut. Tentunya akan ada persaingan di antara kami berlima, karena penghasilan amat tergantung dari banyaknya buku yang terjual.
Namun, sebuah pelajaran akidah, bahwa Allah itu maha pemberi rejeki. Setiap orang sudah ditentukan rejekinya, sejauh mana ia berusaha untuk menjemput rejeki yang telah tertulis itu. Dan hal itu yang ku camkan, aku tidak perlu iri saat melihat teman-teman berhasil menjual hingga ratusan ribu sementara aku tidak berhasil menjual satupun. Anak tadi kembali membuka memoriku, sebuah pelajaran dasar tentang akidah, bahwa rejeki itu datang dari Allah, kita ditugaskan menjemputnya. Namun, kita jangan sampai meninggalkan kewajiban kita untuk beribadah kepada-Nya. Terimakasih adik kecil, engkau kembali membuka memori dan mengingatkanku, bahwa Allah senatiasa bersama orang-orang yang beriman dan bersungguh-sungguh. Terimakasih.
B - B = 0
Baru sekarang aku merasakan bahwa dengan Membaca membuat hidup ini lebih hidup, seperti mendapatkan energi yang tidak pernah kering, terus bersemangat, serasa ingin hidup selamanya. Setiap deretan kata-kata itu memiliki energi, dengan membaca kita menyerap energi itu ke dalam tubuh kita.
(Ibnu Adam Aviciena/ Penulis)
Banyak orang yang pernah saya temui, ada yang senantiasa belajar, membaca, dan tidak sedikit yang malas belajar. Di antara mereka terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Seperti dua kondisi cerah dan mendung. Bagi yang senantiasa belajar “cerah” adalah kondisi yang akan mereka lewati dan “mendung” adalah kondisi untuk mereka yang “malas” belajar.
Belajar tidak hanya apa yang kita dapatkan di bangku sekolah. Banyak pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dalam kehidupan. “Universitas Kehidupan.” Untuk mereka yang terus belajar dari kehidupannya adalah orang yang terus tumbuh dan tumbuh. Pengetahuan baru akan terus mengalir ke dalam kepala mereka. Sedangkan untuk mereka yang malas, satu-persatu ilmu yang ada di kepala mereka akan rontok, berguguran seperti daun jati yang meranggas di musim panas. Sampai akhirnya ia habis dan mati.
Saya pernah mengikuti sebuah lembaga pelatihan, di dalamnya kami diharuskan untuk terus membaca dan membaca. Istilah itu kami sebut sebagai membangun referensi. Tidak hanya dinikmati sendiri, hasil membaca itu kami bagikan untuk teman-teman lain. Sharing pengetahuan di antara kami, saling mengisi dan ini akan membuat kita terus menjadi kaya akan pengetahuan. Akhirnya kita akan banyak memiliki amunisi dalam menjalani kehidupan.
Steven Covey mengatakan dalam bukunya bahwa, “proses membaca” kita hanya berlangsung selama kita berada pada jenjang pendidikan formal saja. Habis setelah masa pendidikan formal itu, maka habislah proses membaca kita. Sesaat setelah kita menerima STTB (Surat Tanda Tamat Belajar), maka “tamat”lah proses belajar dalam kehidupan kita. Kita seperti lepas dari penjara yang mengungkung kita dengan deretan kata-kata dan untaian rumus-rumus. Lanjut Steven Covey, kita lebih senang menonton televisi.
Banyak sekali keuntungan yang akan kita dapatkan dari membaca, kesemua itu mungkin tidak kita rasakan sekarang, tapi nanti akan kita rasakan betapa membaca itu akan banyak membantu kita. Akan banyak rumus atau jurus dalam menjalani kehidupan.
Kehancuran suatu bangsa dimulai ketika pemudanya berhenti belajar (membaca). Karena ke depan bangsa ini akan dibangun oleh orang-orang yang bingung harus berbuat apa. Pada akhirnya bangsa ini akan tenggelam, karam ditengah-tengah lautan persaingan global yang menuntut setiap bangsa untuk dapat bersaing, minimal mampu bertahan dalam kerasnya arus persaingan belakangan ini.
Hanya orang yang memiliki persiapan matanglah yang akan selamat dalam persaingan global. Bagi yang malas selamat tinggal.
*) Penulis adalah Mahasiswa Teknik Industri USU,
Anggota KAMMI USU