Azzam yang ku kenal

Bagi yang pernah menyaksikan film Ketika cinta bertasbih atau membaca bukunya, pasti mengenal yang namanya Azzam. Seorang pemuda yang harus bekerja keras di Negara orang untuk mempertahankan dirinya dan keluarganya di Indonesia. Ia bertahan hidup dengan membuat tempe dan bakso. Ia menjalani itu tanpa rasa menyesal walau ia harus merelakan studinya menjadi molor hingga 9 tahun lamanya. Itu semua ia lakukan sebagai rasa tanggung jawab sebagai lelaki tertua di rumahnya, tertutama saat ayahnya meninggal dunia di tahun pertamanya kuliah di Mesir.

Ternyata dalam kehidupanku, banyak ku temui Azzam-Azzam yang lain. Mereka kuliah dan mereka harus bekerja guna menghidupi/ membantu biaya sekolah adik-adiknya. Salah satunya adalah ia yang sekarang akan ku ceritakan. Sebut saja namanya adalah Satria. Semua yang ada pada diri Azzam imajiner ada pada dirinya. Mulai dari ayahnya yang meninggal saat ia masih kuliah (tahun pertamanya kuliah), tentang kuliahnya yang hampir mencapai 9 tahun. Dan ia harus bertahan hidup dengan bekerja sambil kuliah, bukan kuliah sambil kerja.

Sambil mendengar Toshiro Masuda, ku coba menuliskan pengalamanku bersama “Azzam”. Satria, ia hidup 5 bersaudara, ia sebagai anak pertama dan laki-laki. Pada awalnya, kehidupannya sama seperti kita. Ia dapat menempuh pendidikannya dengan baik tanpa halangan. Saat ia kuliah sang ayah yang menjadi penopang biaya pendidikannya harus lebih dahulu menghadap yang kuasa. Sementara ia masih memiliki 4 orang adik yang masih bersekolah dan akan memasuki pendidikan tinggi juga.

Ia harus merelakan kuliahnya menjadi sedikit tersendat-sendat karena ia juga harus bekerja menghasilkan uang yang akan ia kirimkan ke kampungnya yang akan digunakan sebagai biaya pendidikan adik-adiknya. Ibunya memang PNS, namun gajinya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Kalaupun ada, ia pasti tidak mau menyusahkan ibunya. Ia akan bilang ke adik-adiknya agar meminta uang jajan kepadanya. Namun, jika ibu memberikan uang jangan di tolak, karena ada doa didalam pemberiannya ini.

Saat ia menyelesaikan pendidikan tingginya di universitas yang hampir 9 tahun itu. Ia pulang ke rumah guna membantu ibunya (itu alasannya). Di kampungnya ia bekerja apa saja guna membantu keuangan keluarga, terutama untuk membiayai pendidikan adik-adiknya yang sudah memasuki jenjang univesitas. Satu keyakinannya adalah rejeki itu sudah ada tinggal dijemput saja. Aku ikut merasakan betapa kerasnya ia mencoba memendam rasa. Terkadang ia memiliki beberapa keinginan, namun saat ia melihat keluarganya, ia langsung menepis semua keinginan itu. Seperti ia ingin melanjutkan pendidikannya di pesantren, sambil mencicil hafalan Qur’annya. Sekali lagi, saat ia terbayang wajah ibunya, ia langsung mengurungkan niatnya. Ah, berbakti pada orang tua itu lebih penting, katanya.

Di usianya yang sudah memasuki angka 29 tahun, ia juga belum menikah. Bukannya tidak ada yang mau, tapi setiap ada yang datang, ia menolaknya dengan halus, atau ia mencoba mencari-cari alasan agar dapat menolaknya. Saat ditanya alasannya ia hanya tersenyum dan berkata, “gak tau aku.” Jika aku membaca, ia masih merasa memiliki hutang untuk menggantikan posisi ayahnya di mata adik-adiknya, dan hal itu akan sulit ia lakukan jika ia menikah saat ini.

Saat menyaksikan film ketika cinta bertasbih kemarin, aku seperti melihat Satria yang memerankan Azzam. Ia menentang kerasnya hidup untuk hidup. Oh ya, satu lagi, Satria juga hampir berangkat ke Mesir, namun jatahnya diambil orang lain. Padahal tes yang diikutnya menyatakan bahwa ia lulus untuk berangkat ke Mesir tahun itu. Tapi tidak jadi. Seandainya ia menyaksikan film ini, aku yakin pasti ia akan merasakan bahwa film ini sebagai memori hidupnya yang diputar kembali. Hanya saja dengan setting tempat dan waktu yang berbeda.

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat