Catatan perjalanan Bandung – Serang “MENCARI RUMAH DUNIA”

bagian 1

Setelah menempuh perjalanan sekitar 5 jam dari terminal luwi panjang Bandung, akhirnya kami berempat, Arief, Fuzi, Opick dan aku sampai di Terminal Pakupatan Serang Banten. Terminal yang babak belur di pintu keluarnya. Lebih mirip kubangan kerbau ketimbang jalanan. Supir bus yang kami tumpangi “ngedumel”, katanya, “terminal ini Cuma narik duit aja, tapi gak juga diperbaiki.” Aku dan opick yang duduk tepat di belakangnya hanya tersenyum mendengarnya.

Hari sudah mulai gelap, sekitar pukul 19.10 waktu Serang. Pertama yang kami cari adalah masjid. Teman-temanku menggantungkan ‘nasib’ mereka di Serang ini kepadaku. Diantara kami memang akulah yang “paling tahu” tentang Serang. Aku hanya tersenyum dalam hati bahwa pengetahuanku tentang Serang hanya sebatas apa yang pernah Golagong ceritakan dalam Balada Si Roy-nya. Bahkan aku sering tidak ingat bahwa cerita itu telah lahir sejak tahun 1987-1988. Mungkin saja banyak yang sudah berubah di kota ini.

Tujuan utama kami adalah “Rumah Dunia” kediaman Gola Gong dan keluarga. Memang sudah kami niatkan bahwa kami harus mendatangi tempat luarbiasa ini. Selain untuk bersilaturrahim dengan salah satu penulis besar negeri ini (dari 5 jarinya telah lahir 70 judul buku), kami juga ingin menyerap spirit yang mengalir di Rumah Dunia. Kalau-kalau saja bisa kami ambil dan terapkan di kampung kami masing-masing.

Karena alamat yang masih simpang siur, akupun lupa nama daerahnya. Yang kuingat hanya daerah “Ciloang” tepatnya apa aku lupa. Asli. Aku pikir ada baiknya kami mencari warnet untuk mencari detail alamat Rumah Dunia. Kami temukan sebuah warnet di sebelah pusat perbelanjaan. Alamat dan nomor teleponnya berhasil ku catat. Langsung kami telepon menanyakan bagaimana cara cepat dan tepat untuk sampai ke Rumah Dunia. Sebuah kata kunci untuk teman - teman yang ingin mampir ke Rumah Dunia adalah “pertigaan pusri” karena terdapat gudang pupuk pusri.

Karena sudah malam kami mencari penginapan untuk meletakkan barang-barang kami, lebih tepatnya barang-barangku. Aku membawa 2 karung jaket dari Bandung. Daerah yang kami tuju selanjutnya adalah daerah “Royal”. Oh ya, Serang ini ibukota yang unik, kenapa, karena angkot di kota ini tidak memiliki trayek khusus. Tergantung penumpang yang paling banyak ke arah mana. Maka angkot akan bergerak ke arah sana. Biasanya supir angkot akan bertanya, “mau kemana?” jika angkot itu masih kosong dan kita bertiga atau lebih memiliki arah yang sama, biasanya angkot akan langsung menyetujui arah yang kita minta.

Sesampai di jalan Royal atau “Jalan Sultan Ageng Tirtayasa”, kami mencari penginapan. Ada banyak penginapan tinggal memilih. Namun kami masuk ke sebuah penginapan yang”sepertinya” paling murah. Dari tampilan depannya terlihat kalo penginapan ini murah. Dan memang satu kamar (dua tempat tidur) harganya Rp. 50.000 per malam. Seharusnya kami menyewa dua kamar. Tapi kami pikir sewa satu kamar aja untuk berempat. Dan pengurus penginapan mengizinkannya. Aneh ya… biasanya kalo kamar dengan 2 tempat tidur hanya di perkenankan diisi oleh 2 orang. Jika ingin menambah orang di kamar itu, maka harus menambah biaya atau tidak diizinkan. Untuk kami berempat harusnya menyewa 2 kamar (minimal).

Kami makan malam tepat di depan penginapan. Oh ya si Arief pernah bertanya kepadaku sewaktu di bus. “apa makanan khas dari serang atau banten?” setelah berpikir sejenak, ku dapatkan jawabannya (masih dari buku Balada Si Roy) “Nasi Sumsum.” Jawabku cepat. Perlu teman-teman ketahui bahwa nasi sumsum ini adalah nasi yang dicampur sumsum sapi, dibungkus daun lalu di panggang seperti memanggang sate sampai setengah matang saja. Makanan ini gurih sekali. Hal ini yang diceritakan Gola Gong dalam serial Balada Si Roy. Tepatnya dibuku ketiga. Namun sayangnya saat kami bertanya-tanya dari terminal hingga Royal (pusat kota) tak juga kami temukan orang yang mengetahui dimana penjual nasi sumsum.

Kami tertawa, karena menyadari bahwa cerita tentang nasi sumsum di Serang itu telah ada sejak tahun 80 an. Mungkin saja makanan itu telah punah dimakan usia.

Selesai makan, kami menyusuri royal malam hari. Apalagi ini malam minggu jadi banyak orang yang keluar menikmati malam panjang (katanya).

Penat, gerah dan lelah yang kami rasakan memaksa kami untuk segera kembali ke penginapan untuk istirahat. Serang memang panas jika dibandingkan dengan Bandung. Temanku Arief tidak bisa tidur dan terpaksa keluar kamar, tidur di depan televisi yang ada kipas angin besar. Fuzi, ku lihat kerap terbangun dari tidurnya. Yang luarbiasa si Opik sejak kepalanya menyentuh bantal, ia langsung tertidur. Sedangkan aku masih menekuni sebuah majalah. Hingga akhirnya sekitar pukul 12 malam ku pejamkan mata dan terbangun sekitar pukul 3 pagi, selanjutnya aku tidak tidur.

Bersambung…

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat