oleh : M Arief Rahman Nasution, CH, CHt, CI
Catatan ini sebenarnya ingin bercerita tentang bagaimana seorang muslim bisa berlaku cerdas.
Kenapa saya harus sebut cerdas? Bukankah cerdas namanya, saat seseorang hanya melakukan sesuatu yang di-ilmu-inya terlebih dulu?
"wala taqfu ma laisa laka bihi 'ilmun, inna sam'a walbasara wal fuada, kullu ulaika kana 'anhu mas'ula.."
"Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu akan dimintai pertanggungjawabannya"
(QS. Al Israa : 36)
oke, tolong di save ya bagian diatas. :)
Kisah teman yang saya sampaikan di status itu pun agaknya bermula dari sini.
Teman saya itu ceritanya punya riwayat kehamilan yang kurang baik. Kandungannya lemah. Beberapa waktu lalu ia sedang hamil anak kedua. Teman saya ini punya aktifitas yang luar biasa padatnya. Dengan padatnya aktifitasnya itu, otomatis punya resiko besar terhadap kehamilannya.
Tapi ternyata ia punya punya semangat yang luar biasa. Ia menganggap bahwa aktifitasnya itu bukan aktifitas sia-sia. bahkan aktifitasnya itu adalah aktifitas da'wah. "saya yakin Allah akan menolong saya saat saya menolong agama Allah"
Sekilas, kalimat teman saya itu terdengar gagah sekali. Ya, Allah pasti menolong kita saat kita menolong agama Allah. Benar sih. Tapi bagi saya, untuk kasus yang sedang ia alami ini, kalimatnya itu kurang tepat. Teman saya ini agaknya belum begitu memahami, atau bisa jadi beliau lupa, bahwa dalam Islam ada kaidah ; Menghindari mudharat itu lebih diutamakan dari mencari manfaat.
Beraktifitas da'wah itu mulia sekali. Da'wah itu kewajiban setiap orang yang beriman. Tapi, kondisi teman saya itu bukan kondisi yang prima. Beberapa teman lain sepertinya sudah mengingatkan. Tapi dia tetap keukeuh dengan prinsipnya.
Dalam obrolan saya bersama isteri, saya sempat bercerita kepada isteri tentang kisah seorang sahabat Rasulullah. Ceritanya sahabat Rasulullah yang satu ini mengalami luka yang cukup parah di bagian kepala akibat perang. Saat itu sahabat ini mengalami mimpi basah. Karena ada sahabat lain yang mengatakan bahwa ia harus mandi junub, maka ia pun mandi. Ternyata lukanya semakin parah, dan akhirnya meninggal.
Rasulullah yang mendengar ini sampai marah. Karena seharusnya, dalam kondisi luka parah seperti itu, sebenarnya sahabat itu boleh bertayamum saja. Jangan mengira semua sahabat Rasulullah paham urusan fiqh ya. Mereka juga bisa punya peluang untuk tidak mengerti sesuatu. Jika mereka begitu, bagaimana dengan kita? :D
Disini pentingnya sebuah pembelajaran. Membaca, menulis, berbincang, berdiskusi adalah sarana pembelajaran yang selayaknya jadi budaya. Minimal pada diri kita masing-masing.
Dalam konteks lain yang agak ekstrim, kisah teman saya itu kan sama saja dengan seperti ini;
Dani adalah seorang siswa yang baru saja mendapat pencerahan. Ia begitu bersemangat menjalankan Islam. Semangatnya meledak-ledak. Suatu hari Dani melakukan puasa sunnah. Seharian ia beraktifitas. Sampai tiba waktu magrib, saatnya berbuka. Ia berpikir, "saya masih kuat. Biar pahalanya makin banyak, saya ngga usah buka dulu deh. Nanti saja jam 10 malam saya buka puasanya!" hehe.. dibenarkan? tentu saja tidak.
Atau Udin. Ia begitu baik. Sehingga suatu hari sebelum shalat di masjid, dan saat akan berwudhu, seharusnya ia yang berwudhu duluan. Tapi karena ia melihat seorang kakek di belakangnya, ia mempersilakan sang kakek duluan berwudhu. LAKI banget kan kelihatannya? mendahulukan orang tua. hehe.. dibenarkan kah? TIDAK. Kita tak dibenarkan mendahulukan orang lain dalam konteks ibadah.
ah! saya jadi teringat jika kita bepergian dengan pesawat. Di dalam pesawat biasanya pramugari akan menjelaskan cara memakai masker oksigen, ya? Jika dalam kondisi darurat dan harus mengenakan masker oksigen, dan ada seorang ibu yang membawa anak, siapa yang seharusnya mengenakan masker oksigen duluan? sang ibu atau si anak? BENAR! si IBU lah yang seharusnya mengenakan masker oksigen lebih dulu! Sekilas, mungkin ada yang menjawab bahwa anak lah yang seharusnya diberikan masker.
saya kurang tau pasti alasannya. Nanti coba tanyakan sendiri ya ke pramugarinya ya. Logika saya sih agar si ibu mampu menolong anaknya jika terjadi sesuatu. Ya, kurang lebih begitu lah. Amal yang dilakukan tanpa sebuah ilmu itu pasti tertolak. Persis seperti kita yang tak tau seluk beluk sebuah TV, lantas bongkar TV. Bisa jadi jika yang tadinya hanya satu komponen yang rusak, saat kita bongkar malah jadi lima yang rusak.
Kembali ke kisah teman saya tadi. Singkat cerita, teman saya itu mengalami pendarahan hebat saat melakukan aktifitasnya. Dan ia pun kehilangan janin yang dikandungnya. Pemahaman keliru yang membenarkan pemahaman yang sebelumnya akan berkata, "ya, itu sudah takdirnya begitu.."
Agama ini mengajarkan intelektualitas kan? Agama ini mengajarkan bagaimana seseorang hanya melakukan sesuatu yang ia telah punya ilmu tentang sesuatu itu. Bahkan syetan,kata Rasulullah, itu lebih takut kepada orang berilmu yang sedang tidur, daripada seorang yang tak berilmu yang sedang shalat.
okelah begitu dulu. kapan-kapan kita sambung lagi.
oya, anda mungkin bertanya, kenapa judulnya "Ketika Aksi Dilakukan Tanpa Kompetensi"? padahal tak ada kata Aksi dan Kompetensi di catatan ini.
jawabnya gampang :
1. Tak ada aturan bahwa kata-kata yang ada di judul harus ada di isi! ^_^
2. Aksi & Kompetensi, sama-sama punya suku kata akhiran "si".
Jadi ya, biar saya terkesan pintar saja. Kan keren tuh kata-kata yang berakhiran 'si'.
Seperti transisi, reboisasi, arogansi, personalisasi, indikasi..dan lain-lain lah.. :D
3. Notes ini kan saya yang bikin, suka-suka saya donk! :p
sampai jumpa di episode yang akan datang!
Salam lebih jernih
Arief Rahman
- orang yang sedikit lagi berilmu-
saya suka dengan pembahasan anda..
ReplyDeleteketika kita tidak punya pijakan maka posisi kita menjadi sangat labil.. :)