Coretan di Pinggir Jalan “Coretan Pertama”

Kuambil 17 Juni 2003 sebagai awal perjalananku yang sesungguhnya. Mengapa? Di hari ini ku tinggalkan semua kenangan di kota kelahiranku, Kotabumi. Pada tanggal 17 Juni ini aku resmi menjadikan diriku sebagai ‘anak rantau’. Sebuah pembuktian bagi seorang laki-laki (menurutku). Berdasarkan cerita dari ibuku, “Anak laki-laki tidak ada yang tinggal di kampung (baca: rumah), yang tinggal di kampong adalah anak perempuan.” Anak laki-laki harus merantau, mengadu nasibnya di negeri orang. Oleh sebab itu ibuku tidak pernah menahan-nahan kepergianku. Bahkan beliau yang merekomendasikanku untuk memasukkan Medan sebagai salah satu nominasi kota yang akan aku datangi.


Awalnya, tidak pernah ada pikiran bahwa aku akan melanjutkan hidupku di Medan. Sebuah kota yang sangat asing bagiku, yang ku ketahui hanya “kerasnya” kota ini. Seperti yang digambarkan dalam film-film dan cerita-cerita yang ku baca. Namun, disitulah bentuk perjuangannya, unik dan menantang untuk laki-laki sepertiku.


17 Juni 2003 adalah momentum awal bagiku untuk menjadi seorang laki-laki seutuhnya. Laki-laki adalah sosok yang mandiri, bebas dan bertanggung jawab. Ditemani selaksa doa dari orang tua, adik-adik dan teman-temanku, ku kuatkan hati menatap masa depan, Medan. Akan ku tinggalkan masa laluku di Kotabumi, biarkan ia menjadi bagian perjalanan hidupku yang akan berguna di masa yang akan datang.

Tulisan ini sudah lama ingin kutulis. Hanya saja baru sekarang berhasil ku laksanakan. Seperti memunguti kerikil-kerikil di tepi jalan yang pernah aku lalaui. Melihat usiaku yang masih 24 tahun, jelas belum begitu panjang perjalananku, masih banyak jalan yang belum aku lalui. Tapi aku hanya ingin menulis, itu saja.

Dan, ini adalah sebuah coretan-coretan sepanjang perjalananku menuju Medan. Ini hanya kerikil-kerikil di pinggir jalan, yang secara tidak sengaja aku kumpulkan, kali aja ada gunanya nanti.

Aku teringat sebuah kisah, seorang musafir yang mengumpulkan kerikil-kerikil di setiap sungai yang ia lewati. Anehnya ia hanya mengumpulkan tanpa tahu apa gunanya. Ia hanya menuruti saran orang tua yang ditemuinya di jalan. Akhirnya setelah lelah ia memanggul kerikil-kerikil itu ia tertidur. Saat terbangun ia menemukan bahwa batu-batu itu bersinar, mengkilap, terkena sinar rembulan. Tahulah ia bahwa kerikil-kerikil itu adalah intan yang mahal harganya. Dan aku berharap kerikil di pinggir jalan yang tidak sengaja aku kumpulkan ini nantinya bermanfaat. Semoga.


Nb. Ini adalah tulisan pengantar dari kumpulan tulisan coretan di pinggir jalan, yang aku kumpulkan satu persatu dari pinggir jalan...mulai sejak 17 Juni 2003 hingga sekarang, sempat terhenti selama beberapa waktu, semoga Allah memudahkan di waktu-waktu yang akan datang

No comments:

Post a Comment

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat